Gelar Pengajian Di Kolong Jembatan Taipo, Hong Kong

TAIPO, HONG KONG — Salah seorang teman saya yang juga Dai Ambassador tahun lalu penempatan Hong Kong, turut berkomentar ketika melihat foto pengajian di kolong jembatan Taipo yang saya bagikan. Beliau tampak terkesan sekali dengan model pengajian Buruh Migran Indonesia (BMI) yang ada di Hong Kong.

“Unik. Memang sangat mengesankan mengaji di bawah kolong jembatan,” kata Muhandis Az-Zuhri, seorang dosen IAIN Pekalongan, Jawa Tengah, yang tahun lalu berkesempatan sebagai Dai Ambassador Dompet Dhuafa penempatan Hong Kong.

Sementara ada juga teman saya yang mengatakan miris dan prihatin melihat foto tersebut. Barangkali ia melihat dari sudut pandang berbeda. Karena setiap isi kepala manusia memiliki pendapat masing-masing.

“Apa tidak bising mengadakan pengajian di bawah jembatan? Kok tidak di masjid, rumah, atau gedung-gedung? Menyedihkan,” ujar teman saya tersebut.

Inilah bukti bahwa dalam segala hal yang menurut kita sendiri itu baik, belum tentu menurut orang lain baik. Tentunya harus bijaksana dalam menyikapi semua perbedaan. Seperti orang buta yang mengatakan gajah itu lebar karena memegang kupingnya. Ada yang mengatakan gajah itu panjang karena memegang belalainya. Ada yang mengatakan gajah itu tajam karena memegang ujung gadingnya. Ada yang mengatakan gajah itu besar karena memegang perutnya. Ada yang mengatakan gajah itu keras karena memegang kakinya. Ada juga yang mengatakan gajah itu berbulu karena memegang ekornya.

Setiap dai yang hendak memberikan ceramah di hadapan ibu-ibu majelis taklim di Hong Kong, sebaiknya dapat melantunkan shalawatan. Terutama majelis taklim Al-Muhajiroh Taipo, yang setiap Sabtu berkumpul dan menggelar tikar di bawah kolong jembatan Taipo. Ibu-ibu di sini pandai bermain rebana dan bersenandung shalawat. Saya pun di daulat untuk bershalawat.

Tawaran tersebut saya sambut dengan baik dengan melantunkan Ya Habibal Qolbi yang sedang viral saat ini. Inilah pentingnya metode dakwah. Berdakwah dengan santun, berdakwah menyesuaikan dengan mad’u-nya. Sehingga dakwah yang disampaikan dapat diterima dan mudah untuk diamalkan.

Di sinilah letak uniknya pengajian di kolong jembatan Hong Kong, yaitu mengaji sambil hiburan. Sesekali di antara orang yang sedang lalu lalang ada yang merasa penasaran dengan kegiatan yang kami selenggarakan. Bahkan ada yang sampai mendekati sembari mendengarkan, mendokumentasikan, dan merekam video, serta mengangkat jempol sebagai ungkapan apresiasi. Semoga ini merupakan salah satu bentuk hidayah untuk mereka.

Menurut Rusmini, salah seorang volunteer Dompet Dhuafa Hong Kong, mengungkapkan bahwa berdakwah di sini berbeda dengan di Macau. “Kalau pengajian di Macau biasanya digelar malam hari. Sedangkan pagi sampai siang untuk istirahat. Kalau di Hong Kong pengajiannya siang sampai sore, dan kebanyakan pengajian itu dilakukan pada hari libur, yaitu Sabtu dan Ahad,” ujarnya.

Pengajian bersama BMI di Hong Kong bukan hanya sekadar keilmuan saja, tapi mereka pun dapat sambil liburan dan bertemu dengan teman-teman. Tidak sedikit sesama buruh migran saling bertukar cerita. Mereka menumpahkan atau menceritakan segala masalahnya di situ.

Sebagaian besar aktivitas masyarakat di Hong Kong menggunakan transportasi umum, jarang mereka menggunakan kendaraan pribadi. Karena biayanya terlalu mahal. Mereka harus membayar biaya parkir, biaya perkilometernya pun dihitung. Tidak sembarangan memakai jalan umum, semua terkena biaya. Maka di sini jarang macet dan orang-orang banyak berjalan kaki yang menyehatkan. Maka, menggelar pengajian di kolong jembatan menjadi salah satu strategi menyatukan jamaah dari berbagai daerah. (Dompet Dhuafa/Khumaini Rosadi/Dai Ambassador)