BOGOR, JAWA BARAT — “Hal yang terpenting saat ini bagi kita adalah karakter, kemandirian, dan kontribusi positif. Sebuah pendidikan yang memberdayakan dan memerdekakan itu menjadi manfaat,” papar Dr Ahmad Juwaini, SE, MM, selaku Ketua Dewan Pengurus Yayasan Dompet Dhuafa Republika, membuka HARDIKNAS Eduaction Forum di Kampus STIM Budi Bakti Bogor pada Kamis (2/5/2024).
Lebih dalam ia menyampaikan bahwa forum yang digelar oleh GREAT Edunesia guna memperingati Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) ini bukanlah sekedar diskusi, tetapi juga sebagai aksi. Mengusung tema “Merdeka Belajar dan Jalan Terjal Transformasi Pendidikan Kita”, gelora HARDIKNAS juga menjadi refleksi terhadap kebijakan yang ada dan pengumpulan gagasan baru dalam transformasi pendidikan untuk menjawab tantangan di era Indonesia Emas.
“Forum ini bertujuan menghadirkan refleksi kritis terhadap kebijakan Merdeka Belajar sebagai upaya transformasi pendidikan nasional dan mengumpulkan gagasan-gagasan baru untuk pengembangan pendidikan. Dalam perjalanan terjalnya, kita coba mengisi kesenjangan-kesenjangan itu dengan program pendidikan,” jelas Ahmad Juwaini.
Baca juga: GREAT Edunesia dan Kedubes Malaysia Wacanakan Kolaborasi Pendidikan
Pada sesi gelar wicara, seorang guru besar, akademisi sekaligus penulis buku, yakni Dr. Adiam Husaini, menyampaikan bahwa saat ini minat seseorang menjadi guru bukan pilihan teratas. Sebab, menurutnya, kebanggaan ada jika menyebut memilih profesi yang lain.
“Jadi guru itu mulia. Apa itu pendidikan, pengajaran (dalam istilah sejarah Indonesia-Belanda), dan proses penanaman nilai? Pendidikan itu seharusnya menumbuhkan nilai-nilai, akhlak, kejujuran dan kebahagiaan. Bukan yang dikejar materialistis individu dan benda,” jelas Dr. Adiam.
“Tugas nabi itu tiga, yaitu tilawah, tazkiyah, dan taklim, rangkumannya jadi ta’dim. Maka misi nabi membentuk akhlakul kharimah. Negara atau pendidikan maju bukan tentang uang. Masalah kita juga bukan kaya atau miskin, tapi akhlak. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, baru bangun jalan tol, gedung, dan seterusnya,” tambahnya lagi.
Baca juga: GREAT Edunesia: Bangun Peradaban Lewat Pendidikan
Dalam sesi yang sama, Dr Zaim Uchrowi selaku Tokoh Pendidikan turut menyampaikan, “Semestinya pendidikan itu humanistik (pascamodern/rasa dan logika) jika seimbang menggunakan otak kanan (rasa/tradisional) dan kiri (logika/modern). Merdeka belajar pendidikan itu diawali dengan ingin jadi manusia seperti apa yang diinginkan, lalu deliver dengan tabiat akhlak”.
Generasi muda hari ini yang pada 2045 nanti akan menjadi aktor penting dan penentu dalam kemajuan Indonesia perlu mendapatkan pendidikan dan pengembangan diri yang memadai agar siap masuk ke dalam dunia kerja, bahkan bisa membuka lapangan pekerjaan baru. Namun sayangnya, selain masih terdapat persoalan akses, kualitas belajar di sekolah dan perguruan tinggi dinilai belum cukup baik.
Akibatnya, bekal keterampilan yang dibutuhkan belum bisa sepenuhnya mencukupi dan banyak tidak sejalan dengan kebutuhan dunia kerja masa depan. Kecakapan minimum untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat yang siap mengatasi dinamika perubahan dunia masih jauh panggang dari apinya.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, dalam forum juga menyampaikan bahwa informasi tentang Merdeka Belajar masih sangat minim.
“Hal ini juga menjadi soal utama bersama tentang disinformasi. UNESCO merilis dibutuhkan sebanyak 44 juta guru untuk sedunia. Namun, pendidikan kita tidak tersistemasi. Merdeka Belajar hanya sebuah janji dan konsep anti-ilmu,” tegasnya.
Selain persoalan krisis pembelajaran, setidaknya terdapat satu kritik lagi terhadap proses akademik yang umum terjadi di banyak sekolah dan perguruan tinggi kita, yakni kian tercerabutnya konten materi ajar dari kearifan lokal masyarakat di sekitarnya. Makin sulit akhirnya menemukan korelasi fungsional antara muatan ajar dengan kebutuhan di kehidupan nyata. Hilangnya kearifan lokal adalah ancaman bagi munculnya kemiskinan yang lebih besar. Sehingga, upaya-upaya pengentasan kemiskinan harus dibarengi dengan dukungan pendidikan berkualitas yang tidak cukup hanya dengan mengandalkan ranah persekolahan dan perkuliahan.
Pendidikan jangan selalu diidentikkan dengan persekolahan atau perguruan tinggi. Terlalu sempit jika kesempatan belajar hanya ditempuh lewat penjenjangan pendidikan formal. Pendidikan sejatinya bisa mendorong setiap individu memiliki kemampuan untuk bertahan, beradaptasi, dan bangkit dari situasi sulit. Sedini mungkin generasi kita harus mendapatkan pengajaran dan pengalaman agar mereka menjadi tangguh di masa depan. Sehingga, perlu segera dimunculkan kesadaran untuk membangun integrasi yang kokoh antara pendidikan formal, keluarga, dan masyarakat sebagai suatu ekosistem pendidikan yang menguatkan kesalehan diri, identitas kebangsaan, kemampuan resiliensi, dan kepekaan sosial.
GREAT Edunesia adalah organisasi filantropi pendidikan sebagai mitra pengelola program Dompet Dhuafa dalam bidang pendidikan yang berkhidmat kepada publik di bidang pendidikan untuk pemberdayaan. Ada 12 program yang dikelola di antaranya Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Budi Bakti, Kampus Bisnis Umar Usman, Institut Kemandirian, IDEAS, Institut Magnificient Zakat, Beastudi Indonesia, Perguruan Islam Al Syukro Universal, Sekolah SMART Cibinong, Sekolah Pengembangan Insani dan SfR (School for Refugee), Sekolah Guru Literat, serta Plan & Meal.
Persoalan akses pada pendidikan formal baru tuntas di jenjang pendidikan dasar. Kesempatan meraih pendidikan menengah dan tinggi masih menyisakan banyak tantangan yang kompleks. Harapan pemerataan kualitas pendidikan juga masih terkonsentrasi hanya di Pulau Jawa dan di sedikit kota besar. Selain akses, masalah kualitas dan pemerataan harus menjadi isu besar dalam transformasi pendidikan di Indonesia. Transformasi ini tentunya harus memiliki orientasi yang kuat terhadap perbaikan kualitas SDM. Jika tidak, maka kesenjangan akan selalu terbuka lebar.
Perkembangan teknologi dan lanskap industri, krisis akibat pandemi, perubahan iklim, serta pergeseran geopolitik dunia telah menyebabkan disrupsi besar termasuk terhadap dunia pendidikan. Untuk menghadapi tantangan perubahan, diperlukan proses adaptasi yang cepat dan sistematis. Pascapandemi, angka kemiskinan ternyata tetap menanjak, ditambah ketimpangan ekonomi juga makin melebar. Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi adalah akibat langsung dari adanya kesenjangan dalam memperoleh akses pengetahuan.
Selain itu, dipaparkan pula oleh Ketua Kampus STIM Budi Bakti Dompet Dhuafa, Rina Fatimah bahwa, “Permasalahan akses pendidikan APK-PT (Angka Partisipasi Kasar-Perguruan Tinggi) tidak berkembang dalam lima tahun terakhirr. Biaya pendidikan tinggi, kualitas lulusan pendidikan tinggi yang menganggur (akar masalah skill mismatch), solusi masa depan PT perlu dukungan kebijakan, pembiayaan, serta wadah kemitraan dan revisi kurikulum”.
Dikatakan oleh Mulyadi Saputra selaku Direktur Eksekutif GREAT Edunesia, esensi futuristik pendidikan merupakan dimensi keberlanjutan dan inovasi pendidikan. Terdapat tiga fungsi guna memastikan skema keberlanjutan inovasi, yaitu:
- Fungsi discovery (produksi inovasi) oleh institusi pendidikan,
- Fungsi produksi dan komersialisasi yang model produksi dan pemasaran,
- Fungsi regulasi yang mengatur optimasi, pemanfaatan, dan payung hukum.
“Inovasi pendidikan pun erat dengan brainstorming, prototype, industrialisasi, komersialisasi, evaluasi, dan improvement,” sebut Mulyadi.
Pengalaman program pendidikan Dompet Dhuafa berhasil memberikan dampak secara jangka panjang terhadap perubahan status ekonomi dan kontribusi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan menjadi salah satu gerbang perubahan menuju kehidupan yang lebih baik.
Gagasan pendidikan berkelanjutan GREAT Edunesia ke depan adalah The Philanthropy Edupowerment: Keberlanjutan dan tata kelola dampak; kolaborasi multi stakeholder; pengembangan kurikulum karakter, pengetahuan, dan keterampilan; pengutamaan kearifan lokal dan pemerataan wilayah; serta responsif terhadap isu pendidikan.
“Merdeka Belajar ini kami beri judul pendidikan yang tak kunjung menemukan jalannya. Maka hari ini, merupakan aksi kami melalui program pendidikan Dompet Dhuafa. Hari Pendidikan Nasional kita maksimalkan untuk belanja ide bersama. Jelang usia 32 tahun Dompet Dhuafa, GREAT Edunesia ingin merencanakan program maupun kurikulum khas Dompet Dhuafa,” tutup Mulyadi. (Dompet Dhuafa)
Teks dan foto: Dhika Prabowo
Penyunting: Dedi Fadlil, Ronna