PANDEGLANG, BANTEN — Perjuangan menegakkan pendidikan di Kampung Kamancing tak terlepas dari peran guru-gurunya, para pengabdi sejati. Sebagai bagian dari ujung tombak pendidikan, guru selalu memiliki kisah menarik nan inspiratif. Perjuangan mereka dalam mengajar tak jarang membuat decak kagum. Hal seperti ini muncul dari perjuangan seorang guru di Kampung Kamancing, Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, pria 31 tahun Saripuddin, S.Pd.I.
Ia berjuang dan mengabdi penuh untuk pendidikan dasar putra-putri Kamancing. Sudah 6 (enam) tahun berjalan, ia mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Swasta Bina Ihsani Kamancing. Sebuah daerah di pedalaman Pandeglang, Banten, yang ditempuh sekitar 4 (empat) jam dari pusat Kota Serang menggunakan jalur darat. Ia jadikan sekolah ini sebagai jalan hidupnya untuk mengabdi bagi umat, agama, dan bangsa.
Kamancing bukanlah kampung kelahiran Pak Saripuddin. Ia lahir dan besar di Kampung Cimahpar, Desa Citeureup, Kecamatan Panimbang Kabupaten Pandelang. Hingga saat ini pun ia masih tinggal di sana bersama istri dan anak 5 (lima) tahun-nya. Untuk menuju sekolah, setiap harinya ia harus menempuh jarak lebih dari 4 (empat) kilometer. Jika menggunakan motor, ia cukup memakan waktu perjalanan selama 30 menit. Namun terkadang saat ia harus berjalan kaki, maka 2 (dua) jam pasti ia akan menghabiskan waktu di antara sawah-sawah dan hutan.
“Kadang istri dan anak saya ajak juga ke sekolah. Kalau istri ikut, biasanya dia ke bersosialisasi ke rumah warga saat saya sedang mengajar,” katanya mengisahkan kepada tim Dompet Dhuafa, pada Jumat (14/1/2022).
Layaknya guru-guru SD di sekolah pedalaman lainnya, mengajar di ketinggian Pandeglang ini juga mesti mahir menguasai semua mata pelajaran. Kendati merupakan guru agama, Ia juga harus mengajar semua mata pelajaran lantaran jumlah guru hanya 6 (enam) termasuk dirinya. Apalagi dirinya adalah seorang kepala sekolah yang biasa mengganti guru yang kadang tidak masuk.
Ia mengatakan, enam guru yang saat ini mengabdi di sekolah terpencil ini semuanya adalah guru honorer. Mungkin masyarakat Indonesia sudah tau bagaimana dilema gaji guru honorer, apalagi yang bertempat di sekolah-sekolah pedalaman. Namun itu bukan lah apa-apa bagi Pak Saripuddin dan lima guru lainnya. Yang membuat Pak Saripuddin patut dihargai adalah perjuangannya menuju sekolah yang ternyata ia harus mengeluarkan banyak dana. Bagaimana tidak, sekalinya berangkat untuk pulang dan pergi mengajar, ia harus mengeluarkan sebesar Rp20.000 untuk bahan bakar bensin motornya.
“Makanya saya kadang-kadang memilih untuk jalan kaki karena untuk menghemat pengeluaran,” ucapnya.
Untuk menopang kehidupan anak dan istrinya, bukan dari gaji guru yang ia andalkan. Ia pun telah mendedikasikan diri bahwa mengajar untuk mengabdi, bukan untuk mencari rejeki. Sepulang mengajar, atau di waktu akhir pekan, ia mencari penghasilan dari bertani dan menjadi buruh tani ataupun buruh kuli. Hal ini juga dilakukan oleh sang istri. Meski tetap saja bukan pendapatan yang banyak, namun upah Rp50.000 sebagai buruh ia kelolanya supaya cukup untuk kebutuhan keluarga sehari-hari. (Dompet Dhuafa / Muthohar)