LOMBOK UTARA — “Banyak kawan-kawan guru relawan yang dari jauh. Semisal Aceh atau Makassar, mereka tidak pernah dijenguk siapapun atau izin pulang bertemu keluarga. Saya yang dari Lombok tidak mau kalah, saya harus tetap di sini, mengajar,” terang Himatul Pajri, salah satu guru relawan asal Lombok.
Walau menjadi guru relawan dengan jarak rumah terdekat, sama sekali tidak menurunkan semangat mendidik Himatul dibanding dengan guru relawan lainya. Jarak rumah Himatul dengan tempat ia mengajar hanya dua jam perjalanan darat. Namun Himatul menolak untuk pulang sebelum kewajibanya tuntas ditunaikan. Bahkan ketika orang tuanya ingin menjenguk, Himatul menolak. Perempuan 23 tahun tersebut memilih untuk tetap fokus pada tugasnya mendidik anak-anak penyintas gempa Lombok. Di Desa Gumantar, Kecamatan Kahyangan, Kabupaten Lombok Utara, Himatul bersama rekannya, Thubany Amas ditempatkan.
Desa Gumantar merupakan desa unik. Dari segi geografis berada di perbukitan, namun akses jalan kesana akan dihiasi dengan pemandangan pantai utara Lombok yang terkenal indah. Desa Gumantar juga merupakan gerbang masuk beberapa ikon budaya Lombok seperti Desa Adat Baleq dan Masjid Kuno Lombok. Lokasi penempatan tersebut juga merupakan desa dengan tingkat toleransi yang tinggi. Bukan hanya mayoritas muslim, desa tersebut juga merupakan pusat pemukiman masyarakat Hindu. Tidak jarang terlihat adanya Pura peribadatan di halaman muka pemukiman warga. Namun anak-anak di sana bermain dengan ceria tanpa melihat latar belakang keagamaan.
Namun sayang, sejak gempa, Desa tersebut luluh lantak. Rumah, masjid, pura, sekolah dan bangunan lainya, sudah tidak utuh lagi. Tidak jarang bangunan yang masih telihat berdiri sengaja dirobohkan, lantaran alasan membahayakan. Sekolah juga menjadi sorotan, karena anak-anak di gumantar tidak belajar seperti biasa. Bangunan sekolah yang turut rusak, membuat anak-anak Gumantar belajar di tempat terbuka.
Di Desa Gumantar lah, Himatul mengabdi. Bekas teras sisa reruntuhan rumah warga, disulap Himatul dan rekannya menjadi kelas belajar untuk anak-anak di sana. Banyak hal menarik yang Himatul rasakan ketika dirinya mengajar di Desa Gumantar. Antusias belajar anak Gumantar yang tinggi, dikonversi menjadi semangat bagi Himatul. Pernah anak-anak ‘ngambek’ hanya karena Himmatul harus pergi ke posko utama Dompet Dhuafa, yang letaknya di pusat Kota Tanjung selama dua hari.
“Kita didiemin sama mereka. Karena dua hari kita pergi ke Tanjung, itu pun pada saat akhir pekan,” terang Himatul, terkekeh.
Himatul percaya bahwa banyak potensi yang dimiliki oleh anak-anak penyintas tersebut. Semangat belajar mereka juga tinggi.
“Anak-anak di sini kreatif semua, dan punya banyak bakat. Bahkan ada yang kelas tiga sudah jago rias wajah,” tambah Himatul. (Dompet Dhuafa/Zul)