ROTE NDAO, NTT — “Allahu akbar allahu akbar allahu akbar… laa ilaa ha illallahu wallahu akbar ….” Senin (17/06/2024) pagi di Kota Baa, Kabupaten Rote Ndao, sayup-sayup terdengar gema takbir dari pengeras suara di Lapangan Bola Kaki Christian Nehemia Dillak. Sedikit demi sedikit umat muslim datang dari seputaran kota, memadati lapangan berumput kering itu. Ada yang berjalan kaki, menaiki motor, hingga bus. Mereka datang dan menjadi bagian dari salat Id yang diadakan di pulau paling selatan Indonesia, Pulau Rote.
Rote Ndao mengajarkan arti moderasi beragama yang baik. Masjid dan gereja yang terletak di pusat kota memang tidak bersebelahan seperti pada umumnya, tapi dipisahkan oleh lapangan sepakbola, sehingga berseberangan satu sama lain. Bukan kebetulan, arah kiblat salat Id saat itu justru mengarah ke gereja yang berada di sisi barat. Berbagai unsur masyarakat turut menjaga khidmatnya pelaksanaan salat Id, mulai dari matahari terbit hingga khatib selesai berkhotbah.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menyebutkan bahwa populasi warga yang mameluk agama Islam di Kabupaten Rote Ndao tidak lebih dari 5% dari total 152 ribuan penduduk yang ada. Angka tersebut bisa menjelaskan bahwa umat muslim di Rote Ndao adalah minoritas. Namun meski minoritas, masyarakat tetap bisa bebas merayakan Hari Raya Iduladha dengan berkurban.
Baca juga: Nabila Ishma Bersama Followersnya Sampaikan Kurban Hingga Rote Ndao NTT
Sudah sejak lama Dompet Dhuafa menjadikan Kabupaten Rote Ndao sebagai titik distribusi Tebar Hewan Kurban (THK). Tahun ini, Rote Ndao menjadi titik paling banyak didistribusikannya hewan kurban, jumlahnya mencapai 30 ekor sapi. Jumlah tersebut adalah yang paling banyak apabila dibandingkan dengan kota/kabupaten lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Seiya sekata, hal yang sama juga disampaikan oleh Fahmi selaku Ketua Panitia THK Dompet Dhuafa Nusa Tenggara Timur.
“Kabupaten Rote Ndao menjadi titik distribusi Tebar Hewan Kurban paling banyak di NTT. Jumlah ini selalu naik dari tahun ke tahun,” terangnya dengan nada tegas. Makin banyak hewan kurban, dampak syiar kebaikan yang bisa disampaikan pun makin luas.
Hewan yang dikurbankan dalam Program THK didistribusikan ke banyak desa, salah satunya adalah Desa Papela di Kecamatan Rote Timur. Desa ini menerima 9 ekor sapi dan dibagikan ke 3 masjid yang berdiri di sana.
Berbicara soal masjid, di Kabupaten Rote Ndao secara keseluruhan hanya terdapat 11 masjid. Jumlah masjid paling banyak berada di Desa Papela, desa yang letaknya paling timur di Pulau Rote yang langsung menghadap Samudra Hindia.
Baca juga: Refleksi Hidup Ocha Nugraha: Penuh Syukur dari Perjalanan THK ke Pulau Rote
Masjid Al-Bahri menjadi salah satu kolaborator Program THK dalam menyalurkan hewan kurban dengan gegap gempita. Sejak awal sapi-sapi kurban datang, anak-anak sudah berlarian mengejar mobil pickup yang masuk ke desa. Warga juga langsung mendirikan tenda, menggelar alas, bersama-sama menyembelih, memotong, mencacah, hingga menimbang dengan seksama. Panasnya terik matahari di siang hari masih kalah dengan semangat mereka dalam merayakan Hari Raya Iduladha.
“Jujur kami kaget dengen datangnya sapi-sapi ini, beberapa hari sebelum Iduladha hanya ada satu sapi, itu pun dari Pemda (Pemerintah Daerah Kabupaten Rote Ndao). Lalu sekarang bisa datang sebanyak ini, masyaallah alhamdulillah,” ucap Ihsan Sobi’ain (49), Imam Masjid Al-Bahri, dengan penuh syukur.
Ihsan juga turut mendoakan para pekurban yang telah bersedia membagikan kebahagiaan di desanya.
Baca juga: Kurban dan Cita Pendidikan Tinggi Islam di Nusa Tenggara Timur
Total ada 1.000-an kepala keluarga yang mendapatkan daging kurban di Desa Papela. Selanjutnya, daging-daging itu diantarkan oleh Tim THK Dompet Dhuafa NTT, yakni Fahmi dkk. kepada para penerima manfaat. Salah satu dari penerima manfaat THK adalah Ibu Arti (53) beserta keluarganya. Ia menerima 2 kg daging sapi yang dibungkus dengan daun pisang.
“Hari ini tidak ada lauk, nasi pun kami tidak masak karena tidak ada, belum tahu akan diapakan daging ini karena belum ada uang untuk beli bumbu,” tutur Ibu Arti (50) saat ditanya Tim THK Dompet Dhuafa NTT akan disajikan sepeti apa daging tersebut.
Bukan tanpa alasan, hanya setahun sekali ia dan keluarganya bisa merasakan daging. Sebab, hari-harinya lebih banyak mengonsumsi nasi dicampur dengan air dan garam. Arti menjawab dengan suara gemetar, sesekali coba mengusap matanya yang memerah menahan tangis. Bagi Arti, hari itu ia seperti memperoleh hadiah spesial, membuatnya rindu akan Iduladha tiap tahunnya.
Iduladha menjadi refleksi dari menghamba, mencari, menanti, dan mengikhlaskan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang meninggalkan Siti Hajar di gurun pasir untuk memenuhi perintah-Nya. Siti Hajar mencari suaminya dengan naik turun bukit, menanti bersama Ismail yang masih bayi kemerahan. Lantas ketika sudah besar, turun wahyu agar Ismail disembelih. Nabi Ibrahim pun melakukannya, semata-mata karena keimanannya kepada Allah Swt.
Segala kisah keluarga Nabi Ibrahim as diperingati dalam ritus ibadah Haji dan Kurban. Kisah yang diperingati secara sakral setiap tahun yang telah berjalan ribuan tahun lamanya. Kisah mulia penuh hikmah yang mengantarkan umat Islam di seluruh belahan bumi untuk merindukan Iduladha. (Dompet Dhuafa)
Teks dan foto: Aryo Prasojo, Elfi Handayani
Penyunting: Ronna