Heru Suciyanto: Bertahan Walau Tanpa Biaya Operasional

JAKARTA – Tidak ada kata terlambat untuk bertobat. Itulah istilah yang tepat bagi Heru Suciyanto. Perjudian dan Perkelahian adalah lingkungan yang terpaksa dikenalnya sejak kecil. Daerah tempatnya tinggal dan dibesarkan di Penjaringan, Jakarta Utara merupakan lingkungan yang dapat dibilang lingkungan keras untuk pergaulan dan perkembangan saat ia berusia kanak-kanak. Di sana, berlaku hukum “siapa yang kuat, dia yang berkuasa”. Terlebih lagi, daerah pinggiran Ibu Kota ini tempat berkumpul orang-orang dari seluruh Indonesia untuk mengadu nasib.

Hatinya keras bagai batu. Nasehat orang tua untuk belajar tidak pernah digubris. Shalat pun tak bisa karena tidak tahu bacaannya. Bermain judi menjadi kebiasaan pria yang lahir pada 1963 ini hingga menikah dan mempunyai anak empat. Sesekali ketika bermain judi, minuman beralkohol tak luput menemaninya.

Heru tak pernah berhenti untuk mendapatkan ampunan-Nya. Harapannya sangat dalam agar mendapat ridho-Nya. “Ya Allah aku mau taubat tapi aku tidak bisa apa – apa, aku tidak memiliki uang dll, tapi aku mau sadar dan taubat Ya Allah, apakah engkau mau mengampuni dosa hambamu ini Ya Allah,” begitu pintanya.

Niat sahur pada keesokan harinya tertanam kuat. Sayang, Heru tidak ada makanan. Namun, sepertinya saat itu Allah SWT menerima tobatnya. Saat itu ada tetangga dan masjid yang mengadakan syukuran menyambut Ramadhan. Alhamdulillah, sepuluh nasi bungkus Heru bawa pulang untuk makan sahur hari pertama bersama istri dan anak-anaknya.

Lebaran tiba. Hati Heru sedih tak terkira. Bagaimana tidak, istri dan keempat anaknya tidak bisa memakai baju baru seperti orang lain. Tak tega melihatnya. Saat itu Heru mulai meng-azzam-kan diri untuk belajar mengaji. Ia belajar kepada siapa saja, ustadz hingga anak yang lebih muda darinya. Walau tetap saja ada mulut terasa kelu dan lidah kaku saat mengucapkan huruf-huruf hijaiyah.

Sebagai kepala keluarga, adalah kewajibannya untuk menfkahi istri dan anak-anaknya. Beberapa minggu setelah lebaran, Heru mencoba berjualan mie ayam di sekitar tempat tinggalnya di Penjaringan. Belajar huruf hijaiyah pun tetap Heru lakukan.

Tujuh bulan setelah berjualan, salah satu anaknya sakit. Selama tiga bulan anaknya harus diopname di salah satu rumah sakit di Jakarta Utara. Uang yang dikumpulkan selama tujuh bulan berjualan pun ludes. Kekurangannya ditutupi dengan meminjam uang kesana-kemari. Lagi, hal ini tidak menyurutkan semangatnya belajar mengaji. Heru tetap belajar mengaji sekalipun saat berada di rumah sakit.

Setelah buah hatinya diperbolehkan pulang, Heru kembali berjualan. Sayang, banyak orang yang tidak membayar, terutama preman-preman. Jangankan untung, modal pun habis. Melihat kondisinya yang seperti itu, Heru selalu mengingatkan anak-anaknya agar tidak seperti dia. Alhamdulillah, keempat anaknya masuk pesantren dengan beasiswa. Heru pun bersyukur karena dibanding anak lainnya, anak-anaknya penurut.

Tahun 2011 tetangga meminta Heru untuk mengajar baca tulis Al-Qur’an kepada anak-anak mereka. Awalnya Heru menolak. Namun tetangganya memaksa sehingga membuat Heru menerima permintaan itu. “ Tak perlu membayar aku ikhlas,“ kata Heru kepada tetangganya.

Dalam cara belajar, Heru mempunyai cara sendiri. Seperti majas onomatopea, bunyi huruf hijaiyah Heru wakilkan seperti nama benda atau kata kerja. Seperti huruf ‘ta’ yang pengucapannya seperti ‘bata’, huruf ‘ja’ pengucapannya seperti ‘jajan’, dan seterusnya. Metode ini ampuh membuat anak-anak di kampungnya semakin mudah menghafal huruf hijaiyah.

Rumah Heru yang berukuran 4×6 meter semakin tak cukup saat muridnya bertambah dari waktu ke waktu. Dalam kurun waktu empat bulan, muridnya bertambah hingga 100 orang. Tak mungkin Heru menghentikan kegiatan belajar. Pembagian jadwal pun dilakukan agar rumah tetap bisa menampung murid-muridnya yang juga termasuk ibu-ibu ini.

Lagi, syukur tak terkira ketika ada seorang muhsinat yang mewaqafkan rumahnya untuk kegiatan keagamaan. Rumah yang selanjutnya bernama Rumah Dakwah itu berlantai dua dengan ukuran lantai satu sekitar 3×7 meter dan lantai dua berukuran 4×3 meter. Sayangnya, rumah itu kini tak layak lagi dihuni. Toliet tidak bisa dipakai karena limbahnya selalu keluar kembali. Bagian belakang rumah yang dahulu masih terdapat pemukiman warga, saat ini berubah menjadi genangan air karena proyek pelebaran waduk. Secara bertahap, pemerintah menggusur dan merelokasi rumah di sekitar Waduk Pluit. Rumah Dakwah pun lambat laun mungkin juga akan tergusur.

Selama empat tahun mengajar, Heru tak pernah meminta uang atau sekedar infaq dari murid-muridnya. Pria berusia 63 tahun ini ikhlas mengajarkan ilmu yang ia punya. Prinsip Heru, sekecil apapun ilmu harus disampaikan. Tanpa adanya tarif atau tarikan bayaran, tentu Heru merasa kesulitan untuk biaya operasional. Sering terlintas untuk menyerah dan tidak lagi menerima murid dan ibu-ibu yang ingin belajar padanya.

Namun, semangat belajar tinggi dari murid-muridnya yang membuat Heru tetap bertahan.Sempat ada donatur dari sebuah instansi yang mendukung kegiatannya. Namun, itu hanya bertahan setahun. Selanjutnya, Heru harus bertahan sendiri, hingga saat ini.

Bagaimana pun, ia tidak bisa menghentikan semangat anak didiknya yang ingin belajar agama. Heru berharap, kegiatan ini tetap berjalan di tempat yang lebih baik. (Dompet Dhuafa/Erni)