Ibu, Penentu Perubahan

Oleh: Nana Mintarti

Direktur Pembangunan Sosial Dompet Dhuafa

Besar atau terpuruk sebuah bangsa tergantung bagaimana kaum perempuannya. Mereka yang menyandang amanah mengurusi orang banyak, menyiapkan generasi masa depan. “Al ummu madrasatun… Ibu adalah sekolah. Jika engkau persiapkan dia dengan baik maka sungguh engkau telah mempersiapkan sebuah generasi yang unggul”. Artikel ini tidak bicara tentang anak atau pendidikannya. Ini tentang penerima mandat kehidupan dan keberlanjutan umat manusia. Tentang ibu.

Menjadi awal kehancuran ketika perempuan tak peduli sah tidaknya hubungan seksualnya; berbiaklah krisis kemanusiaan ketika perempuan menyukai sejenisnya atau enggan melahirkan. Benar, orientasi seksual bukan satu-satunya pemicu kehancuran kemanusiaan. Intinya, bagaimana calon manusia dibentuk, bukan berawal saat benih pria dan wanita bersatu, tapi jauh sebelum itu tatkala para calon ibu tumbuh. Bagaimana ia dilahirkan, bagaimana pola asuh yang diterimanya sejak masa buaian dan di tengah iklim sosial yang seperti apa ia tumbuh.

Alur pikir logisnya, ibu-ibu cerdas dibesarkan dari lingkungan waras, terasupi lahir-batinnya dengan baik, terbebas dari anasir anti-kehidupan, tumbuh sebagai anak-anak santun dalam keluarga sadar kehidupan dan sadar mandat atas kehidupan. Tersedianya iklim penopang bagi para calon ibu untuk tumbuh menjadi ibu paripurna, menjadi jaminan terbangunnya peradaban sebuah bangsa.

Napoleon Bonaparte pernah ditanya: “Siapakah ibu?” Ia menjawab, “Ibu adalah yang bisa mengayunkan buaian dengan tangan kanannya dan mengayunkan dunia dengan tangan kirinya.” Tidak berlebihan, kalau seorang ibu menyandang peran berlapis. Pertama, sebagai ibu  bagi anak-anaknya. Kedua, sebagai pendamping suami. Seorang isteri adalah pakaian bagi suami, dan suami adalah pakaian bagi isterinya. Terdapat hubungan timbal balik yang harmonis antara keduanya, saling mengisi dan saling melengkapi. Ketiga, sukses sebagai anggota masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat tempat tinggalnya, seorang ibu harus mampu menempatkan diri menjadi orang yang dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat. Ia menjadi teman bagi sesamanya, saudara terdekat, bagi tetangganya dan teladan bagi keluarga lainnya.

Istighfar panjang dan tafakur dalam-dalam, ketika sebuah bangsa melepas para ibu jauh dari anak dan suami, ke negeri seberang karena faktor kemiskinan. Satu temuan tim Migrant Institute—lembaga pendamping pekerja migran yang diinisiasi Dompet Dhuafa—bikin miris. Pengiriman Tenaga Kerja Wanita yang digadang-gadang sebagai pejuang devisa, membawa ekses lain. “Anak-anak para pekerja migran, sebagian tumbuh sebagai anak-anak bermasalah, karena lepas dari bimbingan ibu,” kata Adi Chandra Utama, Direktur Migrant Institute. Benar, rumah-rumah mereka berubah megah, ekonomi mereka nampak membaik, tapi perubahan itu menjadi tak bermakna saat anak-anak mereka tumbuh menjadi generasi yang bermasalah.

Renungan kecil di Hari Ibu: jangan biarkan anak-anak bangsa ini tak beribu; mereka bukan piatu biologis, tapi terlahir dari para ibu yang kehilangan rasa dan asa. Tak punya waktu cukup mentransformasi kebaikan bagi anak-anaknya. Mari bersama, selamatkan calon ibu Indonesia dari semua kondisi yang merusak peran keibuannya. Kita buktikan betapa seriusnya kita menjaga ibu Indonesia sebagai benteng moral pertama bangsa. Selamat Hari Ibu!