Dari Dosen Hingga Relawan Kemanusiaan, Ceritera Prapti Leguminosa

SIARAN PERS, JAKARTA — Prapti Leguminosa, berbagi kisahnya selama bersinergi sebagai relawan kemanusiaan Dompet Dhuafa pada daring di kanal YouTube Dompet Dhuafa, DD TV https://www.youtube.com/watch?v=gYQOk6LoSUA&feature=youtu.be (Selasa, 30/6/2020).

Dalam tajuk 'Bincang Kerelawanan: Semua Bisa Menebar Kebaikan', acara ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan pra-Milad #27HarmoniKebaikan , menyambut hari lahirnya Dompet Dhuafa pada 2 Juli 2020 mendatang.

Wanita asal Lombok ini sebelumnya pernah menjejak sebagai Dosen di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta pada tahun 2016 silam. Tapi pada tahun 2018, dia memutuskan berhenti dari profesinya tersebut untuk fokus menjadi relawan kemanusiaan.

"Saya lahir di Lombok, NTB, namun besar di Yogyakarta. Waktu itu Lombok di tahun 2018 sempat mengalami bencana alam. Mengingat keluarga besar berada di sana, saya langsung memutuskan untuk 'terbang' kembali ke kampung halaman", aku Egum, membuka obrolan.

Pertemuan awal Egum dengan Dompet Dhuafa kala itu ketika ia bersama keluarganya sedang berada di Pos Pengungsian. Mengingat Egum memiliki latar belakang sebagai Psikologi Pendidikan, ia tertarik untuk membantu para penyintas bencana di sana bersama para relawan kemanusiaan lainnya.

Dalam salah satu aksinya pada kondisi respon tanggap darurat bencana, Dompet Dhuafa pun memiliki program Psychological First Aid (PFA). Tim PFA ini bertugas membantu penyintas dan tim relawan lainnya dari aspek psikis. Mengingat salah satu dampak bencana alam ialah dampak psikis.

Lebih lanjut, Egum mencontohkan salah satu dampak psikis yang berbahaya dan sering dirasakan oleh penyintas maupun relawan ialah ketika pengalaman mengerikan bencana tersebut terbawa hingga mimpi. Bahkan sampai mengganggu proses tidurnya. Ini hanyalah salah satu contoh kecil dari dampak psikis.

Egum asyik bercerita kepada tandem relawan dalam bincang itu; Chiki Fawzi, Maizar Helmy, dan Dini Andromeda. Menurutnya untuk mengatasi hal tersebut, kunci paling penting dalam membantu penyintas mengatasi dampak psikis ialah dengan menjadi teman pendengar yang baik.

"Buat mereka seaman dan senyaman mungkin. Biarkan mereka sendiri yang bercerita. Jangan paksakan mereka bercerita dan jangan pula paksakan mereka dengan berbagai pertanyaan seperti sedang wawancara. Karena dengan itu hanya membuka luka lama. Biarkan mereka memilih mau bercerita atau tidak", ujar Egum.

Ia lanjutkan, "Ketika mereka memutuskan bercerita, jangan juga kita langsung membalasnya dengan kata 'sabar' atau 'yang kuat ya Mas/Mba'. Mereka tidak akan nyaman dengan itu. Karena kita tidak merasakan langsung dengan sendirinya apa yang mereka rasakan pada saat kejadian itu terjadi".

Hal yang sama juga diterapkan kepada tim PFA atau relawan lainnya. Tidak baik bagi relawan jika terus-menerus terpapar atau berada dalam kondisi seperti itu: mendengar cerita trauma penyintas, bantu evakuasi penyintas, dan melihat kesedihan secara langsung di sana selama lebih dari 14 hari.

"Biasanya sebelum melakukan respon di pagi hari atau setelah melakukan respon di malam hari. Kita briefing dan berbagi cerita pengalamannya hari ini. Karena dengan bercerita mereka juga melepaskan emosi mereka. Sehingga cerita mereka jangan sampai mengganggu diri mereka di kemudian hari ketika melakukan kegiatan kerelawanan lainnya", pungkasnya.

"Selain itu kita harus meyakinkan diri, kita siap membantu penyintas. Terutama dari segi mental. Biasanya yang saya lakukan, karena saya Muslim, ialah dengan melakukan ibadah shalat. Contoh lainnya bisa juga dengan berbagi cerita dengan relawan yang lain", tambahnya.

Dalam pesan penutupnya, dia berujar bahwa menjadi relawan kemanusiaan tidak harus selamanya dalam bentuk materi, namun juga bisa berupa waktu dan tenaga. Selama tujuannya baik pasti akan selalu ada jalannya.

"Kenali potensi diri. Dengan begitu kalian bisa membantu mereka-mereka yang sedang terkena musibah", tutup Egum. (Dompet Dhuafa/Fajar)