FOZ Gelar Diskusi Tinjau UU Zakat: Catatan Teoritis Melihat Perundang-undangan

SIARAN PERS, JAKARTA — Forum Zakat (FOZ), sebuah rumah besar organisasi pengelola zakat yang terdiri dari lembaga-lembaga filantropi Islam Indonesia, menggelar diskusi nasional berbasis webinar yang bertajuk 'Arsitektur Gerakan Zakat Indonesia: Meninjau Tata Kelola UU Zakat No. 23/2011 dari Sisi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik' pada Rabu (19/8/2020). Melalui aplikasi via Zoom, diskusi ini menggaet 260 peserta yang tersebar dari seluruh wilayah Indonesia.

Diskusi ini menghadirkan pakar dari beberapa latar belakang bidang yakni, H.M. Fuad Nasar (Direktur pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama RI), Irfan Syauqi Beik (Direktur Pendayagunaan dan Distribusi Zakat BAZNAS), Arif R.Haryono (Ketua Bid.II FOZ Nasional), Qurrata Ayuni (Pengamat Hukumtata Negara Universitas Indonesia), juga Selly Andriyani G.(Anggota Komisi VIII DPR RI).

“Seperti yang kita lihat, para peserta berasal dari berbagai daerah, ada yang dari Aceh, Sulawesi, Papua dan masih banyak lagi. Semoga dengan diadakannya acara ini mampu menambah bobot pengetahuan kita tentang zakat. Sehingga mampu mendorong lagi dampak manfaat yang dihasilkan dari zakat dan mampu mengakomodir setiap pihak sektor zakat,” ujar Nana Sudiana selaku Sekjend FOZ dalam sambutannya.

Sebelum menyoroti diskusi lebih dalam tentang zakat, H.M. Fuad Nasar membuka diskusi dengan mengajak kembali melihat dua perundang-undangan Indonesia, yakni UU Nomor 28 Tahun 1999 dan UU Nomor 30 Tahun 2014.

“Dari dua undang-undang itu memang tidak berkaitan secara langsung tentang penjelasan positioning lembaga zakat. Namun melalui dua undang-undang itu termaktub tentang pentingnya profesionalitas, ketidakberpihakan, dan kepentingan umum dalam suatu lembaga. Selain itu juga digarisbawahi tentang larangan bertindak sewenang-wenang, dilarang melewati wewenang, dan dilarang juga mencampuradukan wewenang,” jelas Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama RI, H.M. Fuad Nasar.

“Lebih jauh lagi dijelaskan juga tentang ruang partisipasi publik untuk mendukung, mengkritisi, dan mengawasi setiap kebijakan yang ada,” tambahnya.

Artinya dalam meninjau pengelolaan zakat di Indonesia. Baik lembaga zakat yang dikelola pemerintah maupun masyarakat harus tetap mempertahankan amanah yang sudah diembankan kepada mereka, seperti transparansi, profesionalitas, tepat sasaran, netralitas, dan memberikan manfaat yang besar.

Dalam sesi lain, Qurrata Ayuni menambahkan ada empat poin yang harus diperhatikan ketika berbicara tentang undang-undang zakat. Pertama Asas-asas Umum Pemerintahan Baik (AUPB), konstitusi Pasal 29 dan 34 ayat 1 Tahun 1945, dan pengawasan/peradilan.

“Kurang lebih regulasi zakat juga harus memperhatikan aspek kebebasan beragama dan mampu mengangkat derajat kemiskinan seseorang. Karena, bukan berarti kita tidak percaya atau ragu soal dana zakat yang kita salurkan akan menjadi seperti apa. Namun sebagai bentuk AUPB, hal ini dapat dijadikan untuk mengajukan gugatan, dan akhirnya AUPB dapat dijadikan ‘alat uji’ oleh Hakim untuk menilai sah tidaknya atau batal tidaknya keputusan dalam mengawasi dari aspek administrative,” pungkas Ayuni.

Seperti yang diketahui dalam meninjau UU Zakat No.23/2011 dalam Pasal 5, 6, dan 7. Pasal-pasal itu membuat pengelolaan dan pendistribusian dana zakat menjadi tersentral di tangan BAZNAS. Padahal lembaga ataupun pihak pengelolaan zakat di Indonesia sangat variatif. Baik sebagai lembaga maupun individu. Sebagai contoh masih ada warga yang mempercayakan dana zakatnya kepada kyai, ustadz, ajengan,  pesantren, ataupun komunitas masyarakat lainnya.

“Jadi ada beberapa PR yang harus kita lakukan. Pertama kejelasan fungsi (clarity of term)  kelembagaan zakat yang terdiri dari regulator, kordinator dan operator. Kedua perlu dikaji sejauh mana peraturan BAZNAS bisa mengikat. Ketiga apakah perkara zakat perlu mauk dalam pengadilan agama atau PTUN saja,” tutup Ayuni. (Dompet Dhuafa/Fajar)