Faisal: Perawat Juga Seniman (Bagian Dua)

SIARAN PERS, JAKARTA — Rilvi bukanlah pasien pertama, sudah ada setidaknya 200 pasien yang Faisal periksa hingga siang hari itu (Sabtu, 20/6/2020). Tak heran, bila terkadang didapati tenaga medis seperti Faisal yang beristirahat di bangku ia bekerja, lengkap dengan APD (Alat Pelindung Diri) yang masih terpakai. Rasa lelah yang ia dapatkan seperti sudah jadi bagian tak terpisahkan dari profesinya.

“Iya, lumayan capek sih hehe,” ucap Faisal singkat, sesaat setelah terbangun dari bangku tempat ia bekerja. Ia terlelap sementara waktu, dan terbangun ketika pasien datang kembali. Walau hanya beberapa menit, sudah bisa memberikan Faisal tenaga ekstra.

Bekerja di bidang kesehatan, membuat Faisal selalu bersinggungan dengan berbagai potensi penularan penyakit. Namun, itu hanyalah resiko profesi baginya. Faisal selalu siap kapanpun tugas memanggil. Pengalaman penuh ketegangan pernah ia hadapi di tengah pandemi ini. Ketika harus mengantar pasien reaktif Covid-19, dari Jakarta menuju Yogyakarta.

“Selagi antar pasien dari RS Cikini ke Bethesda Yogyakarta, pasien baru saja melakukan cek Swab, tapi hasil belum ketahuan. Jadi ya pasti ada khawatir, deg-degan juga, sekalipun kita sudah pakai APD, misal ternyata memang positif. Tapi bagaimana, namanya sudah senang sama pekerjaan, jadinya ayo saja”, tukasnya.

Menimba ilmu keperawatan di STIkes Surya Global pada 2016 lalu, ia melanjutkan pendidikan profesi di STIKes Jayakarta, dan lulus tahun 2018. Setelah itu, waktunya dicurahkan di lembaga kemanusiaan Dompet Dhuafa. Tergabung di Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC), ia banyak bertugas ke banyak lokasi ekstrem. Hal tersebut tidak lepas dari seringnya Dompet Dhuafa merespon kejadian bencana alam yang sering terjadi di Indonesia.

“Sering sekali, hampir semua jenis bencana pernah saya kesana. Longsor, gempa, tsunami, pernah saya alami terjun kesana,” aku Faisal.

Seringkali, bukan menyembuhkan pasien yang jadi tugas terberat. Membujuk pasien lah yang paling sulit dilakukan ketika bencana. Pengalaman bencana longsor di Sukabumi pada awal 2019, Faisal kesulitan membujuk warga untuuk berhenti ke lokasi bencana. Warga yang kakinya terluka karena terkena puing, masih memaksakan diri untuk ikut mengevakuasi warga atau harta bendanya yang sudah tertimbun tanah.

“Pernah dulu di longsor Sukabumi, warga yang kakinya luka, sudah dibersihkan dan dijahit. Tapi masih ingin kembali ke tempat longsor, akhirnya luka lagi. Padahal luka di tempat bencana itu banyak resikonya, misal tetanus itu bisa fatal,” lanjutnya bercerita.

Satu hal kecil yang yang jarang orang sadari, ternyata ada alasan kuat dibalik gigihnya Faisal bercita-cita sebagai Perawat. Merawat orang lain menjadi ladang ia berlatih, hingga nantinya ia diberikan kesempatan untuk bisa merawat kedua orang tuanya sendiri. 

“Selain bisa merawat orang lain, sebenarnya paling khusus biar bisa ngerawat orang tua juga, orang tua saya kan sudah tua, jadi kalau orang tua sakit, minimal saya bisa rawat dia,” tutupnya. (Dompet Dhuafa/Zul)