Guru Honorer Yang Gigih Mendidik di Tengah Pandemi (Cerita Ibu Fitria – Bagian Dua)

SIARAN PERS, YOGYAKARTA — Kini, Fitria dan juga guru lainnya sangat bergantung dengan teknologi. Tentu menjadi tantangan baru bagi para guru dan siswa yang terbiasa melakukan kegiatan belajar mengajar tatap muka di sekolah. Hampir setiap waktu, di berbagai kegiatan Fitria selain sebagai guru, ia tetap membawa telepon genggamnya. Hal itu karena orang tua dan siswa membutuhkan penjelasannya sewaktu- waktu, dan Fitria harus siap saat itu juga.

Secara swadaya, setiap bulannya, Fitria harus menyiapkan dana lebih untuk memenuhi kebutuhan mengajarnya. Setiap bulannya, Fitria harus mengeluarkan dana sekitar Rp 80 ribu lebih dari saku pribadinya untuk keperluan kuota sebagai penunjang kegiatan mengajar daring.

“Handphone itu saya bawa kemana-mana, saat masak dan berkegiatan lain tetap saya bawa. Jadi boros kuota. Satu minggu bisa 3 gigabytes, dan habis sekitar 80 ribu sebulan, atau bahkan bisa lebih kalau kebutuhan mengajar lebih,” tukas Fitria, ketika tim Dompet Dhuafa bertamu di kediamannya di Dusun Menggoran, Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Gunungkidul.

Bagi Fitria, tak bertemu dengan siswa didiknya adalah cobaan terberat baginya sebagai seorang guru. Siswanya adalah motivasinya untuk terus berinovasi dalam mengajar. Tak ada kata lesu bagi kamus pendidikan seorang Fitria. Menurunkan semangat mendidik, sama saja menurunkan semangat belajar para murid. Membersamai siswa siswinya belajar melalui jaringan internet adalah ikhtiarnya, agar para siswanya tidak kehilangan semangat untuk belajar.

“Tantangannya adalah kita juga harus semangat, karena kalau kita sebagai guru tidak semangat mengajar, begitu juga anak tidak semangat untuk belajar. Sebaliknya, anak kalau tidak semangat belajar, kan kita sebagai guru juga kehilangan selera mengajar. Kehilangan semagat anak-anak itu, kesedihan bagi saya seorang guru,” aku Fitria.

Apa yang dirasakan Fitria sebagai guru, juga pasti diarsakan orangtua siswa di rumah. Karena hakikatnya, orangtua lah guru pertama bagi anak di rumah. Keterbatasan gawai dan akses internet juga dialami oleh mereka. Oleh karena itu, Fitria berharap bukan dirinya yang menjadi prioritas, melainkan orangtua siswa yang mendapatkan perhatian lebih, dan mendapatkan subsidi akses internet.

“Berat atau tidak harus dijalani, kita tetap jalani dengan ikhlas. Kita ingin sebagai bapak dan ibu guru, ada subsidi kuota untuk orang tua siswa, agar mereka naik lagi semangatnya (membersamai anak belajar). Jadi anak-anak merasa diperhatikan,” harap Fitria.

Bertajuk ‘Kuota Untuk Bangsa’, Dompet Dhuafa Cabang Yogyakarta menginisiasi kampanye kebaikan, dengan tujuan menyediakan gawai dan akses internet layak bagi guru dan orangtua siswa di pelosok Yogyakarta. Masyarakat bisa ikut bergabung dalam gerakan tersebut, dan ikut berkolaborasi menyediakan akses pendidikan yang kini disebut 'kuota'. (Dompet Dhuafa / Foto & Penulis: Zul / Editor: Dhika Prabowo)