Kehilangan Kedua Kaki Karena Berdagang, Demi Keluarga Heri Tetap Semangat Berjuang (Bagian Satu)

BOGOR — Pria berseragam rompi oranye itu masih dengan semangat mengayun-ayunkan tangannya meski cuaca mulai gerimis. Dibantu dengan sebilah tongkat, ia berusaha terus berdiri mengatur keseimbang. Pluit putihnya yang semakin kusam menjadi tanda bahwa ia sudah lama menekuni profesi jalanan ini. Di depan sebuah minimarket di Jl. Raya Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor, ia dengan gigih mengatur parkir para pelanggan yang datang, berharap mereka menyisihkan uang kembalian sebagai upah jasanya. Dia Heri Wahyudi, pria kelahiran Bojong Gede itu sudah melakoni kerjaannya sebagai juru parkir di sana sejak 7 tahun terakhir.

Selang tak lama, siang mulai datang membawa terik yang menyengat. Dengan tubuhnya yang basah penuh keringat, pria 37 tahun itu sesekali duduk untuk istirahat alih-alih mengencangkan ikatan kakinya. Siapa sangka, perawakannya yang terlihat perkasa ternyata tunadaksa. Sudah sejak lama Heri kehilangan kedua kakinya. Tahun 2014 menjadi tahun yang sangat memilukan bagi pria kurang beruntung itu. Istilah pepatah: Sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Pada Senin (7/2/2022), Tim Lembaga Pelayan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa mencoba menemui Heri di tempat biasa ia menjaga parkiran. Kebetulan saat itu adalah hari dia berjaga. Banyak hal yang diceritakan Heri mengenai jalan hidupnya. Obrolan begitu hidup siang itu, hingga berlanjut ke rumahnya di Kampung Jati, Desa Tonjong, Kecamatan Tajurhalang, Bogor. Maksud lain dari kedatangan rim LPM adalah untuk menyampaikan amanah dari Imperial Kitchen & Dimsum yaitu memberikan donasi berupa santunan untuk menyokong usahanya. Hal tersebut sekaligus sebagai bentuk apresiasi untuk Heri atas ketidak pamrihnya berjuang untuk keluarga.

Tiba di rumah kediaman Heri, berbagai suara kicauan burung menyambut tim LPM hingga membentuk seperti sebuah rangkaian nada. Kicauan-kicauan tersebut nyatanya datang dari burung-burung yang mentereng di dalam sangkar-sangkar burung milik Heri. Belum selesai burung menyambut, istri Heri, Nengsih (47), turut menyambut dengan senyuman. Sembari menawarkan minum, Heri ditemani sang istri melanjutkan ceritanya.

“Sehari-hari pekerjaan saya ya ini, jaga warung bareng istri sambil ngerawat dan jual-beli burung. Selain itu kalau Senin dan Kamis saya jaga parkiran di toko minimarket tadi,” ucapnya memulai lagi obrolan.

Ia pun mulai berani mengungkapkan kilas balik cerita pilunya pada tahun 2014. Sejak dulu Heri sudah menjadi pria pekerja keras. Sebelum kajadian itu, Heri adalah seorang pedagang asongan yang mejajakan jualannya di gerbong-gerbong kereta api. Setiap malam, usai lelah seharian berdagang. Heri bersama teman-temannya beristirahat sembari nongkrong di sekitar rel kereta api. Yang pasti kegiatan tersebut dilakukannya setelah jadwal kereta terakhir berlalu, yaitu pukul 21.00 WIB atau setelahnya.

“Waktu itu jam 9 (21.00 WIB), saya sedang istirahat duduk-duduk di rel kereta. Biasanya memang suka nongkrong di situ sama temen-temen. Tapi entah saat itu saya sedang sendirian. Biasanya jam segitu memang sudah tidak ada kereta lagi. Kirain waktu itu juga kereta memang sudah habis. Eh, tak taunya kereta masih ada. Dan kebetulan keretanya lewat di jalur yang saya dudukin.

Entah kenapa hari itu sangat berbeda dengan hari-hari lainnya. Malam itu terasa lebih sunyi dan hening. Heri juga merasa langit lebih gelap dari biasanya. Ditambah lagi kebetulan malam itu teman-temannya tidak ikut nongkrong menemaninya. Malam itu ia sendirian saja duduk-duduk sambil meregangkan otot. Tiba-tiba kereta datang. Setengah menyadari, Heri sayup-sayup melihat lampu terang kereta beberapa kali berkedip ke arahnya. Ia juga mendengar dengan sedikit samar bunyi klakson kereta menerobos kedua gendang telinganya. Rasa ingin bangun dan menghindar, namun Heri merasa sangat berat serasa ada yang menghambatnya untuk bergerak.

“Saya duduk enak aja gitu karena memang biasanya di atas jam 9 itu sudah tidak ada kereta lagi. Namanya juga musibah mungkin ya. Padahal waktu itu saya sadar ada kereta datang. Sudah dikasih lampu dim juga beberapa kali. Dikasih kalkson kereta kan itu bunyinya keras. Tapi entah saya tidak kuat bangun, kayak ada yang nahan gitu. Sampai akhirnya kejadian kaki saya kelides kereta. Spontan kaget. Saya pikir waktu itu juga yang kelindes cuma satu. Saya pikir juga masih bisa berdiri. Eh pas saya coba bangun kok berat. Saya coba pastikan lagi pakai cahaya korek api ternyata dua-duanya sudah tidak ada,” jelasanya.

Karena tempat tongkrongannya gelap, membuat orang-orang tidak ada yang melihat kejadian itu. Dai mencoba berteriak pun temen-temennya tak ada yang mendengar. Hingga ada orang lewat kemudian ia berteriak minta tolong. Ia coba hidupkan korek api supaya terlihat ada cahaya. Orang yang saya ia minta tolong mulanya malah kesal.

“Dikiranya mungkin saya nipu. Dia bilang 'Masa dilindes kereta lu gak papa. Kalau lu boong gue gebukin lu' sampai dia ngomong gitu kan. Saya bilang 'Kalau gak percaya lu lihat aja ini kaki gua' sambil saya nyalain korek ke arah kaki saya. Pas dia lihat kaki saya memang sudah gak ada baru dia nyebut 'Astaghfirullahaladzim'. Trus dia manggil orang-orang buat nolong saya. Tadinya saya kelindes itu cuma se-mata kaki. Tapi karena kelamaan sampai lima hari, jadinya dipotongnya sampai di atas dengkul. Mungkin karena infeksinya sudah menjalar ke atas sampai ada belatung juga, jadi dipotongnya harus sepanjang ini,” lanjutnya semakin memilu. (Dompet Dhuafa / Muthohar)