Kisah Pasutri Sepuh Penyintas Semeru: Rumah dan Sawah Hancur, Bersyukur Cucunya Tak Gugur (Bagian Satu)

LUMAJANG, JAWA TIMUR — Tak pernah terbayangkan oleh warga di sekitar lereng Gunung Semeru, yang akan mengalami bencana erupsi pada awal Desember 2021 lalu, Sabtu (4/12/2021). Gunung tertinggi di Pulau Jawa itu memuntahkan guguran awan panas tanpa diduga sebelumnya. Langit yang mulanya cerah mendadak gelap gulita. Hujan disertai abu hitam turun bercampur gumpalan-gumpalan lumpur. Begitulah yang diceritakan oleh pasangan suami istri, Hasyim (65) dan Sukarminah (56), warga Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Guguran awan panas Gunung Semeru meninggalkan kisah pilu bagi keluarga Hasyim. Bencana yang datang secara tiba-tiba, membuat Pak Hasyim dan warga lainnya panik berhamburan menyelamatkan diri. Saat peristiwa itu, ia bersama sang istri harus berjibaku dengan abu vulkanik menyelamatkan diri dan dua cucunya yang yatim. Rumah yang berpuluh-puluh tahun ia tinggali, ambruk menimpa barang-barang di dalamnya.

Saat ditemui oleh tim Dompet Dhuafa di tenda pengungsian di Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro, Hasyim menceritakan kondisi pilu rumahnya. Ia tak menyangka bisa kehilangan rumah yang merupakan aset kehidupannya. Bagian belakang rumahnya ambruk, bagian depannya pun juga ambruk. Atap rumah yang terbuat dari asbes pun lepas dan hilang dari kerangka-kerangkanya. Barang-barang berharga yang tak sempat ia selamatkan pun terkubur abu lumpur bahkan sebagian hilang entah terbawa angin atau hujan.

“Kondisi griyane, nggeh, ambyuk. Wingking ambyuk, ngajeng ambyuk. Atape asbes nggeh mboten karu-karuan sampunan (Kondisi rumahnya, ya, ambruk. Bagian belakang ambruk, bagian depan ambruk. Atap asbes juga tidak karuan sudahan),” jelasnya mendiskripsikan kondisi rumah, Selasa (28/12/2021).

Rumah Pak Hasyim jelas sudah tak bisa ia tempati lagi. Bahkan meski diperbaiki pun tidak mungkin untuk dijadikan tempat layak tinggal. Pemerintah setempat juga telah mengumumkan bahwa Dusun Kajar Kuning sudah dinyatakan tidak layak lagi untuk ditinggali. Sebab menjadi zona bahaya yang berpotensi bencana serupa akan menimpa kembali.

“Di sana sudah tidak boleh ditempati lagi. Melihat lokasinya saja sudah trauma. Mau tidak mau, ya memang harus pindah. Sementara ini saya dan istri mengungsi di posko ini. Kalau cucu-cucu, saya titipkan di rumah paman dan bibinya. Karena supaya lebih aman dan nyaman,” lanjut Pak Hasyim.

Ditengah-tengah musibah yang begitu dahsyat menimpa, namun Pak Hasyim berulang kali mengucapkan syukur. Hal pertama yang paling ia syukuri adalah keselamatan keluarganya yang berhasil keluar dari musibah dengan keadaan hidup dan sehat. Menurutnya, biarlah harta, benda, rumah dan sawah hilang, yang penting dirinya, istri, dan kedua cucunya selamat dari musibah.

Tatkala APG Gunung Semeru menerjang dengan dahsyat kala itu, yang dilakukan Pak Hasyim dan Bu Sukarminah adalah memeluk erat kedua cucunya sembari berulang-ulang memohon doa keselamatan. Kalimat-kalimat istighfar, tahlil, dan takbir, tak terhitung yang terucap dari bibir kedua pasangan ini.

Usai hamburan awan panas sedikit mereda kala itu, Pak Hasyim, Bu Sukarminah, juga kedua cucunya beserta warga lainnya, bergegas menuju tempat yang aman. Pergilah mereka berempat ke rumah sanak keluarganya di lain desa yang dinyatakan aman.

“Setelah itu kami berempat ngungsi di rumah saudara,” kata Bu Sukarminah.

Beberapa hari setelah gunung terlihat aman, serta diperbolehkannya para penyintas untuk mendatangi lokasi bencana oleh BNPB, Pak Hasyim mencoba menyambangi rumahnya. Ia ke sana untuk menengok bagaimana kondisi rumah sekaligus melihat-lihat apa sekiranya yang bisa diselamatkan.

“Habis semuanya. Rumahnya saja tidak bisa dimasuki ,” ucapnya pilu.

Meski jelas tak punya tempat tinggal, namun pasangan ini tetap saja merasa tak enak menumpang di rumah saudara. Alih-alih takut membebani, dua minggu berselang mereka berdua kemudian memilih untuk pindah ke tenda pengungsian yang disediakan oleh Kemensos di lapangan Desa Penanggal. Meski begitu, dua cucunya tetap dititipkan di rumah saudaranya karena akan lebih nyaman dan aman.

Saat ini, yang paling dibutuhkan oleh Pak Hasyim dan keluarganya adalah tempat tinggal. Tinggal berdesakan di tenda pengungsian tentu semakin lama akan banyak menimbulkan persoalan lain salah satunya kesehatan para pengungsi. Selain itu, Pak Hasyim dan Bu Sukarminah ingin segera memulai kehidupan baru entah sebagai apa untuk terus menghidupi keluarganya. (Dompet Dhuafa / Muthohar)