Kisah Perempuan Pasukan Perdamaian, Letkol Ratih Berbagi Pengalaman di Youth For Peace Camp 2019 (Bagian Dua)

JAKARTA — Sebagai seorang anggota wanita TNI Angkatan Udara yang menjalankan misi sebagai Pasukan Perdamaian PBB, Letnan Kolonel Ratih Pusparini, mengungkapkan bahwa sangat banyak yang bisa dilakukan perempuan di daerah misi. Menurutnya, sebuah kepercayaan itu perlu diberi pada wanita untuk bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut.

"Terkadang, ketelitian perempuan itu lebih baik dari laki-laki. Di sana (daerah konflik), untuk memenangkan hati dan pikiran lokal, kalau perempuan yang maju akan lebih banyak diraih. Penerimaan masyarakat pun akan berbeda. Misalnya yang sebelumnya tidak pernah ada cerita apapun, dengan perempuan yang maju, masyarakat akan lebih terbuka, khusunya para perempuan juga," terang Letkol Ratih.

"Di Kongo, kami duduk lesehan di tanah dengan masyarakat lokal, ibu-ibu juga anak-anak, kita ngobrol. Hingga mereka bercerita tentang bagaimana desa mereka diserang brutalnya para pemberontak. Kemudian terjadinya pemerkosaan, perampokan, penculikan, dan pembunuhan. Di Kongo, Syria dan Lebanon, yang saya rasakan seperti itu. Jadi, ketika anggota militer laki-laki yang mendekat, mereka tidak sepenuhnya terbuka. Bahkan menjauh seakan takut," lanjutnya.

Letkol Ratih dilantik menjadi Letnan Dua dengan Korps Dinas Khusus di TNI AU pada 8 Mei 1995. Bermula dari sini, kemudian ia sering ditugaskan ke luar negeri sebagai Staf Pertahanan Negara. Kemudian pada 1997, Letkol Ratih dikirim untuk magang pada sebuah Akademi Angkatan Bersenjata Australia di Kota Canberra selama setahun.

Di 2003, Kementerian Luar Negeri mengirimkan sebuah surat kepada Mabes TNI yang meminta panglima TNI untuk mengirimkan perwiranya menjadi Military Observer (Kelompok Pengamat Militer), yakni berfungsi sebagai mata dan telinganya PBB di daerah misi. Dalam surat tersebut, terdapat sebuah kalimat yang menyebutkan bahwa sebaiknya anggota wanita TNI juga turut disertakan dalam misi. Mendengar kabar itu, maka Letkol Ratih pun mengajukan diri. Meskipun ia pernah mendapat pernyataan pesimis yang beranggapan bahwa anggota perempuan tidak perlu ikut di daerah perang.

Hingga akhirnya, upaya Letkol Ratih terwujud pada 2007. Ketika itu sang panglima, Marsekal TNI Djoko Suyanto, memberikan izin, pertama kali untuk mengirimkan wanita TNI berangkat ke misi. Bersama seorang rekannya dari Korps wanita TNI, berangkatlah Letkol Ratih dalam misi pada 17 Januari 2008. Hal itu sekaligus merupakan sejarah TNI mengirimkan anggota wanitanya ke misi PBB.

Letkol Ratih menceritakan pengalamannya ketika menjalankan misi di daerah konflik di Kongo, Syria dan Lebanon, di hadapan para peserta Youth For Peace Camp 2019 yang kali ini mengusung tajuk 'What Can Women Do in Peacebuilding?'. Antusias para peserta yang merupakan pemuda aktivis mancanegara terpantik dalam kegiatan yang berada di Ruang Nagoya, Hotel Kuretakeso, Kemang, Jakarta Selatan, pada Sabtu (7/12/2019).

"Saya juga mengakui, generasi saat ini jauh lebih pintar dibandingkan dengan generasi saya dulu yang fasilitas dan aksesnya berbeda. Maka untuk pemuda Indonesia sekaligus agen perdamaian, alangkah damai jika kita membuka pikiran dan wawasan, banyak baca dan berinteraksi, juga pandai-pandai melihat sumber informasi dan memilahnya. NKRI harus utuh," serunya. (Dompet Dhuafa/Dhika Prabowo)