Mengenal Lebih Dekat Uighur: Komitmen Dalam Menangani Isu Kemanusiaan

Jakarta—Muslim Uighur kembali mencuat dalam polemik. Etnis Uighur di Xinjiang, diduga mengalami tindakan-tindakan diskriminatif dari pihak pemerintah Cina. Dengan alasan, orang-orang Uighur diduga memiliki agenda untuk memisahkan diri dari Cina serta merupakan orang-orang yang terpapar ideologi radikalisme.

Forum Zakat (FOZ) dan Dompet Dhuafa menggelar diskusi yang bertajuk “Mengenal Lebih Dekat Uighur” di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta (26/12/2019). Adapun panelis yang dihadirkan antara lain K.H. Muhyiddin Junaidi (Ketua Bidang Luar Negeri MUI), Heru Susetyo (Associate Professor Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan Haryo Modjopahit (GM Advokasi Dompet Dhuafa).

Muhyiddin Junaidi membuka diskusi dengan berbagi pengalamannya saat mengunjungi wilayah Uighur lalu (17-24/02/2019). Kunjungannya dengan beberapa organisasi masyarakat (ormas) Islam ke Xinjiang, China merupakan undangan dari Kedutaan Besar China untuk Indonesia. Mengatakan kondisi etnis Uighur di Xinjiang yang tidak bisa menikmati kebebasan dalam melaksanakan ibadah.

“Mereka melakukan ibadah dalam ruang-ruang tertutup. Tidak boleh di ruang terbuka. Jika mereka melakukannya di ruang terbuka. Mereka akan dikirim ke kamp-kamp re-education centre,” jelas Muhyiddin.

Walaupun pemerintah Cina sendiri mengatakan kamp tersebut merupakan tempat pelatihan vokasional untuk melawan ekstrimisme. Akan tetapi Tempat “re-education centre” sendiri merupakan sebuah kamp pengasingan yang dioperasikan oleh pemerintah local Xinjiang untuk “membersihkan” orang-orang yang ditahan di sana dari gagasan radikalisme dan separatism sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhyiddin. Heru Susetyo sendiri melihat kalau ini merupakan salah satu pelanggaran kemanusiaan, yakni pembatasan masyarakat dalam beragama.

“Ini jelas pelanggaran HAM. Pelanggaran kemanusiaan,” terang Heru.

Haryo juga menghimbau bahwa warga Indonesia tetap menghormati Cina sebagai negara yang berdaulat. Untuk itu masyarakat harus lebih jeli lagi dalam melihat kasus ini.

“Kita tetap menghormati Cina sebagai negara yang berdaulat. Maka dari itu focus kita adalah isu kemanusiaannya. Bukan politiknya. Dan jangan langsung dikaitkan dengan hubungan etnis Cina di Indonesia. Itu tidak ada kaitannya,” ujar Haryo.

Di akhir acara pihak acara FOZ beserta panelis menghimbau beberapa hal: (1) apabila tindakan diskriminatif tersebut memang benar. Di mohon pihak-pihak yang terkait bisa melakukan upaya pembelaan dan advokasi; (2) keterbukannya akses menuju Xinjiang; (3) mengadakan internasional konferensi di Indonesia; (4) Jika memang persoalan radikalisme dan terorisme. Maka perlu mengadakan pertukaran pelajar atau pemberian beasiswa terhadap masyarakat Uighur untuk ke Indonesia. Demi memberikan pemahaman islam yang jauh lebih segar.

“Indonesia kan negara yang toleran dan moderat. Jadi ibaratnya semacam portofolio negara Indonesia,” tutup Haryo. (Dompet Dhuafa/Fjr)