Merajut Asa Difabel dari Manjurnya Daun Kelor

YOGYAKARTA — Setiap apa yang diciptakan oleh Allah SWT di Bumi selalu menyimpan manfaat. Itulah yang setidaknya dipercaya oleh seorang Setia Adi Purwanta, seorang aktivis senior asal Yogyakarta. Bersama rekan-rekannya, ia mengajak kaum difabel untuk berdaya melalui olahan daun kelor.

Sudah lama ia memperjuangkan hak bagi kaum difabel. Sebagai seorang tuna netra, ia sangat paham bagaimana menjadi bagian dari komunitas difabel di Indonesia. Salah satu yang paling baru, ia melalui Komunitas Dria Manunggal, salah satu LSM difabel tertua di Indonesia bekerjasama dengan Dompet Dhuafa memberdayakan difabel melalui daun kelor.

“Semua itu diciptakan ada manfaat dibaliknya, termasuk daun kelor ini kan banyak manfaatnya, hanya saja masyrakat belum begitu familiar dengan daun kelor itu sendiri,” ungkapnya. Tutur kata yang sopan dan sosok bersahaja khas pria Jawa menjamu tim Dompet Dhuafa di sekretariat Dria Manunggal.

Berada di sekretariat yang juga tempat produksi berbagai produk turunan daun kelor, Setia bercerita tentang kemauannya memberdayakan kaum difabel. Berawal dari keprihatinannya mengenai kaum difabel yang tidak bisa mengakses kesempatan kerja sebagaimana masyarakat non-difabel.

Padahal sudah diatur dalam undang-undang bahwa difabel mendapatkan hak kuota pekerja dalam perusahaan. Faktanya, banyak rekannya sesama difabel yang tidak bisa bekerja di berbagai usaha di Yogyakarta. Alhasil, difabel banyak diasosiasikan dengan beberapa profesi kasar, sebut saja tukang pijat atau penjual kerupuk.

“Ada sekitar 8.000 pengusaha di Yogya, dimana memperkerjakan 100 lebih karyawan, namun hanya sekitar 45 pengusaha yang mempekerjakan difabel. Karenanya, masih banyak persepsi yang mengatakan kalau difabel itu tukang pijat dan sebagainya, padahal mereka bisa mengerjakan hal lain seperti halnya mereka yang non-difabel,” terang Setia.

Lalu ia bertemu dengan Dompet Dhuafa pada 2019. Melalui progam Grand Making, dimana Dompet Dhuafa mencari progam pemberdayaan ekonomi yang diinisiasi masyarakat untuk bisa di support. Sebelumnya, Komunitas Dria Manunggal yang sudah menginisiasi olahan daun kelor, akhirnya bisa dikembangkan bersama Dompet Dhuafa. Olahan kelor yang sebelumnya mendapati beberapa kendala, bisa dibantu pengembanganya. Suntikan modal dan alat pun diberikan, begitu pula dengan packaging dan marketing yang lebih rapi.

“Pada 2019 bertemu Dompet Dhuafa, dan ternyata kami saling tertarik dnegan progam ini, dari situ dikembangkan bersama. Produk pertama kita adalah teh kelor tubruk, Kendalanya adalah kelor tidak bisa dikeringkadengan cara dijemur, jadi butuh mesin pengering. Dari situ didukung Dompet Dhuafa,” tambah Setia.

Markas Komunitas Dria Manunggal yang ada di Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Bantul, digunakan sebagai rumah produksi. Namun kebun kelor sendiri ada di Kabupaten Gunung Kidul. Dengan awal mula luas hanya 250 meter persegi, kini sudah mencapai 6.000 meter persegi. Karenanya, semakin banyak difabel yang terserap menjadi pekerja. Mengingat dalam produksi olahan kelor tersebut dikerjakan 100 persen oleh difabel, baik dari hulu di kebun hingga hilir penjualan ke konsumen.

“Awalnya hanya 250 meter, kini sudah 6.000 meter persegi. Semua proses produksi dari hulu ke hilir selalu melibatkan keluarga difabel. Paling banyak didistribusikan ke Jawa Barat. Paling jauh, kita kirim ke Makassar, Sulawesi,” ungkap Setia.

Tidak main-main, produk olahan kelor tersebut sudah merambah pasar nasional, dan memberdayakan difabel di daearah-daerah. Dengan produk olahan tersebut, Setia ingin menyampaikan bahwa difabel pun bisa berdaya. (Dompet Dhuafa / Zulfana)