Sekolah Baru Anti Gempa, Bawa Keceriaan Pasca Bencana (Bagian Satu)

SIARAN PERS, PALU — Walau masih pukul 10.00 WITA, namun cuaca di Palu sudah sangat terik. Hal wajar mengingat wilayah Sulawesi Tengah, termasuk Palu, merupakan daerah yang dilewati garis khatulistiwa. Matahari benar-benar nampak jelas menatap daratan Palu. Namun, suasana berbeda didapatkan di ruang kelas MI Muhammadiyah Nunu, Palu. Terik memang nampak jelas di luar, namun di dalam kelas. Sangat sejuk dan semilir. Ruang kelas tersebut terbuat seratus persen dari kayu dan bisa menangkal panas dari luar. Salah satu yang merasakannya ialah Ratna, salah satu guru yang telah mengabdi selama 11 tahun di sekolah tersebut.

“Alhamdulillah, selama ini memang lebih adem dibanding sebelumnya,” akunya.

Sama sekali tidak terpikir dalam benak Ratna, bahwa sekolah tempat ia mengabdi akan disulap 360 derajat seperti sekarang. Terlebih, setelah bencana gempa meluluhlantahkan Palu dan sekolahnya pada 2018 silam. Selepas mengajar, Ratna, seorang guru kelas satu MIM Nunu berkesempatan menceritakan kisah sekolahnya yang hampir mati karena gempa.

“Yang saya syukuri adalah gempa datang ketika sekolah sedang sepi. Sudah tidak ada kegiatan di sekolah,” bukanya, sembari mengingat memori di 28 September 2018, waktu saat gempa terjadi.

Kegiatan belajar mengajar terpaksa terhenti selama sebulan lamanya. Sekalipun guru sudah masuk dua minggu sebelumnya. Bukan tanpa alasan, Gedung sekolah tak layak pakai. Satu ruang benar-benar roboh, sisanya rusak berat dengan retak di tiap sisi. Orang tua murid pun memilih tidak menyekolahkan anaknya sementara waktu. Apalagi, mereka juga termasuk penyintas, dan sibuk mengurus diri di pengungsian.

“Setelah gempa, kondisi sekolah tidak ada proses belajar mengajar, hampir sebulan lebih.  Beberapa orang tua khawatir, memilih anaknya tidak disekolahkan dulu. Sebenarnya guru dua minggu setelah gempa sudah masuk. Namun sekolah waktu itu rusak berat, satu kelas roboh dan kelas lain sudah tidak bisa digunakan. Karena tembok sudah terpisah,” terangnya.

Ketika satu per satu murid datang kembali untuk menuntut ilmu, dilema menghantui para guru. Kelas belum juga ada. Bahkan sebelum gempa, MIM Nunu belum sepenuhnya memiliki fasilitas kelas. Mereka menumpang di kelas MTs ataupun MA yang lebih dulu berdiri. Setelah gempa, mereka menjadi seratus persen tidak memiliki kelas. Alhasil, kegiatan belajar mengajar dilakukan di tenda-tenda, bantuan beberapa NGO kemanusiaan.

“Kita melakukan KBM di tenda, atas bantuan beberapa pihak. Sekitar dua bulan belajar di tenda,” tambahnya.

Tidak mudah untuk menghidupkan kembali pendidikan pasca bencana. Hal tersebut sangat Ratna rasakan. Belajar di tenda sangatlah berat bagi anak-anak. Ketika siang terik, panas sangat menyengat. Ketika hujan, air mengalir lenggang membanjiri tenda. Belum lagi  murid yang tak jenak belajar. Karena harus bercampur antar kelas dan sekolah.

“Waktu belajar di tenda, murid banyak yang mengeluh, sepeti panas dan hujan itu air masuk. Setengah jam itu sudah banjir. Mereka juga campur-campur, tidak efektif untuk belajar. Waktu itu jam 10 pagi sudah dijemput orang tuanya, karena masih khawatir,” tukas Ratna.

Habis gelap terbitlah terang, seperti itu yang nampaknya dirasakan oleh siswa-siswi dan guru di MIM Nunu, Palu. Dompet Dhuafa menawarkan bantuan pembangunan sekolah permanen ramah gempa kepada pihak sekolah. Sebuah mukjizat di saat musibah. Pembangunan sekolah langsung dikebut, demi bangkitnya pendidikan di Palu. (Dompet Dhuafa/Zul)