Penguatan Hati dan Cinta Damai: Fitrah Islam Dalam Kacamata Muhammad Nawawi (Bagian Dua)

TANGERANG SELATAN — “Secara batin saya merasa merdeka. Maksudnya begini, dalam Islam, saya itu diberikan suatu tanggung jawab: kamu seorang muslim kamu bertanggung jawab penuh atas diri kamu, atas kehidupan kamu. Dan pertanggung jawabkan itulah kepada Tuhan. Jadi saya di satu sisi diberikan amanat. Di sisi lain, saya merasa bebas. Yang di mana kebebasan itu tidak lagi di bawah telunjuk pemuka agama manapun. Yang di mana saya lihat beberapa aliran kepercayaan. Pengaruh di bawah telunjuk itu sangat besar,” imbuh Muhammad Nawawi (32), salah seorang penerima manfaat atau santri dari Pesantren Muallaf Dompet Dhuafa berbagi pengalamannya, Kamis (14/11/2019).

Muhammad Nawawi melanjutkan, “pengaruh di bawah telunjuk” itulah yang membuat banyak penafsiran yang keliru tentang Islam. Contoh lain, juga dia ungkapkan misal beberapa ulama yang aktif di media social seperti Youtube. Jika satu video dakwah berdurasi 10 menit. Ada beberapa video yang isinya jauh lebih banyak komedi ketimbang benar-benar dakwah.

“Tujuh menitnya ketawa-tawa. Tiga menitnya baru serius. Kalau begitu mah semua orang bisa. Jadi inti tausiyahnya sedikit dong,” tambahnya.

Muhammad Nawawi juga mengungkapkan, “Pernah juga saya ketemu seorang ustad untuk bimbingan. Mereka malah bilang ‘kalau perintahnya demikian ya lakukan. Jangan banyak tanya. Nanti malah murtad’. Lho ini bagaimana, memangnya saya robot. Kalau kayak gitu kan taklik. Padahal Allah melarang taklik. Jangan melakukan sesuatu hal tanpa benar-benar memahami”.

Sekarang ini Muhammad Nawawi sedang focus mendalami islam lebih dari pada yang sekarang. Dia ingin kembali ke fitrahnya sebagai seorang makhluk hamba Allah. Dia ingin mengabdikan diri untuk hal yang baik. Tentu di kepercayaan sebelumnya dia tetap bisa melakukan hal tersebut. Namun dia melihat ada nilai tambah di Islam. Banyak hal yang menurutnya sangat mendorong kedekatan antara makhluk dengan Tuhannya.

“Itulah momentum ketika saya akhirnya hijrah untuk memeluk islam sampai sekarang,” tambahnya.

Mendekati dengan Hari Toleransi Internasional yang diperangti setiap tanggal 16 November. Penting sekiranya untuk menjaga kerukukan umat beragama dan menjernihkan kembali semua pemahaman tentang agama. Bahwa agama manapun tidak bertujuan untuk mengkafirkan orang yang berbeda agama. Terlebih tidak juga sampai menjadi alat kekerasan.

“Agama itu jangan ditafsirkan sebagai tata gerak saja. Harus sampai ke batinnya. Sampai ke titik yang paling dalam, yakni kedamaian,” tutup Muhammad Nawawi. (Dompet Dhuafa/Fajar)