ISMAILIA, MESIR — Serangan Israel di bumi Palestina kian hari kian membabi buta. Namun, bertruk-truk bantuan kemanusiaan dari seluruh dunia tak kunjung dibolehkan memasuki Palestina. Per Kamis (7/12/2023), Israel menyasar wilayah Khan Yunnis di bagian selatan Gaza. Mengapa? Sebab, daerah ini merupakan konsentrasi terbesar komplek penyintas. Sebagian besar penyintas bergeser ke arah selatan Gaza mendekati perbatasan Palestina dan Mesir yakni Gerbang Rafah, untuk menyelamatkan diri.
Mengutip Al Jazeera, Kementerian Kesehatan Palestina dan Palestine Red Crescent Society (PRCS) mencatat bahwa per tanggal 7 Desember 2023, setidaknya ada 17.177 jiwa yang syahid. Di antaranya termasuk 7.112 anak-anak dan 4.885 wanita (data per 6 Desember 2023). Dilaporkan juga bahwa ada 46.000 jiwa yang membutuhkan penanganan medis secara khusus, sementara 7.600 jiwa lainnya dinyatakan hilang di Gaza.
Sementara itu di Tepi Barat, tercatat ada 266 jiwa yang syahid, termasuk 63 anak-anak, dan lebih dari 3.365 dilaporkan luka-luka. Sejak terjadinya perang besar antara Israel dan Palestina yang berlangsung per 7 Oktober 2023, setidaknya sudah ada 63 nyawa jurnalis yang hilang. Bersamaan dengan itu, militer Israel juga melakukan pengeboman sebuah sekolah UNRWA di dekat RS Indonesia, Gaza Utara, dan menewaskan sejumlah penyintas Palestina.
Baca juga: Sinergi dengan TNI AL, Dompet Dhuafa Kirim Bantuan Kemanusiaan untuk Palestina Lewat Jalur Laut
Di tengah kondisi yang sudah kritis, tanpa listrik, air, internet, jalur komunikasi, dan keterbatasan pasokan makanan di Gaza, keadaan juga diperparah dengan mengularnya bantuan kemanusiaan dari jalur Mesir. Pada Kamis (7/12/2023) sore menjelang malam waktu Ismailia, ratusan truk bantuan kemanusiaan untuk Palestina terlihat mengular begitu panjang menuju Check Point Ismailia, 100 Km di luar Kairo. Proses pengecekan dokumen perjalanan truk bantuan sangat detail, sehingga memakan waktu yang lama.
Seorang pengemudi truk bantuan bernama Muhammad yang ditemui di lokasi menyatakan bahwa perjalanannya dari Kairo menuju El Arish lalu ke Rafah membutuhkan waktu 10–12 hari. Dalam perjalanannya, cukup banyak titik pemeriksaan militer Mesir, tidak kurang dari 12 pos pemeriksaan. Sementara di Ismailia, ia harus menunggu sampai hampir dua hari. Belum lagi jika nanti sampai di El Arish, di sana akan ada pemeriksaan menggunakan X-Ray untuk menuju Gudang ERC dan dilakukan skrining isi dan ukuran barang bantuan sebelum bisa melintas ke Rafah.
Seluruh bantuan yang melintas dari Mesir pasti akan melalui titik pemeriksaan Ismailia. Maka, sudah bisa terbayang bagaimana jika truk-truk tersebut memuat bantuan berupa makanan. Kemungkinan bantuan-bantuan itu akan rusak dan tidak mampu bertahan akibat cuaca dan suhu, sehingga tidak bisa dipergunakan untuk para penyintas. Diperparah lagi dengan masuknya musim dingin di Palestina, baik di Gaza maupun Tepi Barat.
Hal ini membuat penanganan masalah para penyintas di Palestina lebih rumit lagi. Utamanya soal kebutuhan untuk anak-anak, wanita, dan lansia. Krisis kemanusiaan yang terjadi di Palestina harus menjadi perhatian bersama. Ini bukan hanya masalah agama, ini tentang kemanusiaan. Israel melakukan perampasan kedaulatan dan penjajahan yang melanggar hukum-hukum humaniter internasional. (Dompet Dhuafa/DMulyadi)