Pemberdayaan peternak menjadi salah satu ikhtiar Dompet Dhuafa mewujudkan kedaulatan pangan nasional. (Foto: Yogi/Dompet Dhuafa)
Matahari tengah menyengatkan sinarnya siang itu kala Inin (54) memikul dua buah karung besar. Di dalam karung tersebut daun pepaya, rumput gajah, dedaunan hijau, dan rerumputan lain saling bertumpuk. Berbagai jenis rerumputan tersebut Inin butuhkan untuk pakan 20an domba dan kambing yang ia kelola setiap hari.
Mencari rerumputan di kebun dan sawah merupakan bagian dari rutinitas sehari-hari Inin sebagai peternak. Aktivitas lainnya, selepas salat subuh ia menuju Pasar Parung untuk menjual beberapa hewan ternaknya. Di pasar yang ditempuh 15 menit dari rumahnya di Desa Jampang, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor itu, Inin mengais rezeki.
Inin menuturkan, dalam sehari ia bisa menjual lima ekor domba dan kambing ternaknya. “Namanya jual beli, kadang banyak, kadang sedikit. Kadang juga pulang gak bawa untung karena gak ada yang beli,” ungkapnya.
Pria yang hanya lulusan SMP ini mengaku, hidup sebagai peternak lokal dan kecil di Indonesia, kerap menghadapi berbagai kesulitan dan keresahan. Selama 39 tahun menjalani peternak, kesulitan yang dialami Inin—juga sebagian besar peternak lokal lainnya—terbilang klasik, yakni permodalan.
Padahal, peran peternak cukup signifikan. Mereka berperan sebagai penyangga ketahanan pangan dalam negeri. Sayangnya, setali tiga uang dengan kehidupan petani, para peternak merupakan kelompok masyarakat marginal yang kehidupannya luput dari keberpihakan para pembesar negeri ini. Hal ini bisa kita lihat dari indikator ekonomi yang menjadi acuan kebijakan ekonomi pemerintah maupun korporasi.
Masyarakat kecil yang bermodal kecil itu harus mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Mereka tidak diterima dalam percaturan ekonomi mainstream. Mereka dinilai tidak bankable, olehnya tidak layak mendapatkan pinjaman dari bank karena memiliki risiko yang terlalu besar.
Tak hanya itu, para peternak lokal kerap dibuat resah soal kebijakan impor pemerintah. Inin dan juga peternak-peternak lain seperti dirinya mungkin jarang membaca koran, majalah, terlebih berita di internet tentang sengkarut impor daging yang melibatkan para petinggi di negeri ini. Namun, tetap saja kekhawatiran tergurat di wajahnya, serbuan daging impor di pasaran belakangan ini membuatnya ketar-ketir.
Inin memang tak merasakan langsung efek dari importasi daging sapi yang dilakukan pemerintah karena yang ia geluti adalah ternak domba dan kambing. Namun, ia bisa merasakan bagaimana kekhawatiran rekan-rekannya sesama peternak. “Karena daging impor umumnya lebih murah,” katanya.
Menurutnya, dengan adanya impor menjadikan para peternak lokal kalah bersaing. Ia berharap ke depannya pemerintah tidak mesti melakukan impor. “Yah, di kita aja (para peternak lokal) diberdayakan sebenarnya. Saya rasa kalau pemerintah fokus untuk berdayakan peternak lokal akan mampu. Gak usah impor-impor,” papar Inin.
Menuju kemandirian peternak lokal
Permodalan dan persoalan kebijakan merupakan sebagian dari beberapa keresahan yang dialami para peternak lokal negeri ini. Itulah anomali di negeri ini. Negeri yang subur, gemah ripah loh jinawi ini belum memberi kemakmuran bagi rakyatnya, terutama bagi peternak—peternak kecil. Negeri agraris, tapi untuk urusan beras dan daging masih mengandalkan impor dari negara lain.
Minimnya perhatian dan keberpihakan terhadap peternak lokal tersebut melecut Dompet Dhuafa mendirikan Kampoeng Ternak Nusantara (KTN) pada tahun 2005. Sebagai bentuk pendayagunaan dana zakat, sedekah, dan dana sosial lain para donatur, KTN Dompet Dhuafa mengembangkan program peternakan yang berbasis pada peternakan rakyat (peternak mustahik).
Direktur KTN Dompet Dhuafa, Ajat Sudarjat menuturkan dalam memberdayakan para peternak lokal, KTN Dompet Dhuafa mengoptimalkan progam kapasitas peternak, pembibitan (produksi), modal, dan pemasaran. Keempat hal tersebut sejatinya merupakan faktor yang dapat mewujudkan kemandirian dan kemajuan peternakan lokal.
“Hingga saat ini program KTN Dompet Dhuafa telah menyasar di 14 Provinsi dan 39 kabupaten/kota di Indonesia. Ada 5.195 peternak yang telah dibina Kampoeng Ternak Dompet Dhuafa sejak tahun 2005 hingga 2014 ini,” ujar Ajat.
Peningkatan kapasitas (capacity building) adalah upaya KTN Dompet Dhuafa menjadikan para peternak binaan memiliki pengetahuan dan keterampilan lebih soal dunia ternak. Diharapkan, semakin banyak pengetahuan yang mereka dapat, semakin meningkatkan kualitas mereka dalam beternak.
“Mereka rutin mendapatkan pelatihan dari tim KTN Dompet Dhuafa. Mulai dari kesehatan ternak, pembibitan, perawatan kandang, dan banyak lagi yang lainnya,” papar Ajat.
Dalam hal pembibitan ternak, KTN Dompet Dhuafa memiliki sentra ternak untuk meningkatkan populasi ternak di berbagai wilayah seperti Lampung, Ponorogo, Lebak, Bantaeng, dan Ciamis. Dengan adanya program sentra ternak ini, persoalan kelangkaan suplai ternak lokal di Indonesia diharapkan bisa diatasi.
Di sektor permodalan para peternak, KTN Dompet Dhuafa mendirikan Bank Ternak. Bank Ternak dapat menjadi lembaga mediasi penyedia modal ternak bagi para peternak guram di daerah. Ia berperan layaknya bank perkreditan rakyat pada umumnya, namun tidak berorientasi profit. Saat ini Bank Ternak beroperasi di tiga wilayah, yakni Muara Gembong Bekasi, Cirebon dan Banyuwangi dengan nasabah lebih dari 300 peternak.
“Pengelolaan Bank Ternak ini menggunakan prinsip-prinsip syariah. Bank Ternak ini seperti Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Ada akad Mudhorobah (Bagi Hasil) dan Qadrul Hasan (dana kebajikan tanpa ada bunga),” jelas Ajat.
Salah satu upaya Dompet Dhuafa dalam memasarkan ternak dari peternak lokal adalah melalui program Tebar Hewan Kurban (THK). THK merupakan program yang digagas menyebarkan hewan kurban ke berbagai pelosok tanah air, 33 provinsi di seluruh Indonesia, 214 kota/kabupaten, 375 kecamatan dan 4.155 desa. Bagaimana agar daging kurban tidak menumpuk di kota-kota besar.
Program yang bergulir sejak 1994 ini menjadi puncak panen para peternak lokal mitra pemberdayaan KTN Dompet Dhuafa. Sebab, sebanyak 75% pasokan ternak program THK berasal dari mitra pemberdayaan KTN Dompet Dhuafa di seluruh Indonesia. Sedangkan sisa pasokan lain berasal dari nonpemberdayaan.
Dengan adanya “hajat tahunan” ini, pemberdayaan praktis menggelinding. Kampung-kampung para peternak mitra KTN Dompet Dhuafa bergairah karena desa jadi pemasok ternak. Akhirnya, ternak menjadi salah satu penopang napas desa.
Investasi pun ditanam seiring dengan bergulirnya THK setiap tahun. Jauh sebelum Idul Adha, hewan telah dipelihara para peternak. Para peternak bukan hanya dapat upah pemeliharaan, melainkan juga diupayakan mendapatkan separuh bagian hewan. Mereka juga mendapatkan bagi hasil pembelian dan pengetahuan soal ternak. Dengan demikian, semakin menegaskan bahwa kurban bukan sekedar aktivitas karitas tanpa implikasi sosial.
Tren positif senantiasa hadir di setiap gelaran THK. Peningkatan jumlah hewan setiap tahunnya jelas sinyalemen positif bagi ribuan peternak binaan KTN Dompet Dhuafa. Mereka mendapakan rezeki yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan.
Namun demikian, THK jelas bukan satu-satunya lahan pemasaran bagi para peternak lokal binaan KTN Dompet Dhuafa. Mereka tentu saja masih dapat berpenghasilan harian dan bulanan seperti akikah dan kebutuhan konsumsi harian lainnya.
Transformasi kondisi perekonomian jelas menjadi tujuan dari proses pemberdayaan para peternak lokal. Berdasarkan data KTN Dompet Dhuafa, paling tidak 10% dari jumlah peternak binaan mengalami peningkatan siginfikan. Parameter yang diukur adalah perbaikan kualitas hidup dan pendidikan anak-anaknya. Meski demikian, peternak binaan KTN Dompet Dhuafa lainnya pun mengalami perubahan minimal peningkatan pengetahuan soal ternak dan pendapatan dibanding sebelum mereka diberdayakan. (gie)