Kenangan Tergenang, Kesaksian Kartini Saksikan Rumahnya Diterjang Galodo

Kisah Kartini Hadapi Galodo Sumbar

TANAH DATAR, SUMATERA BARAT —Ndak mau lagi ke sana, Nak. Ndak mau lagi nengoknya (rumah), hancur juga soalnya, hati ini berat. Ndak enak lagi Amak,” ujar Kartini (56) lirih, sembari mengingat kembali reka adegan bencana Galodo yang membuatnya trauma.

Lebih dari 15 tahun, Kartini bersama suami dan kelima anaknya tinggal di rumah kayu berwarna biru bercampur kuning itu. Rumah yang menjadi saksi anak-anaknya tumbuh hingga kini ia telah memiliki cucu.

Nahas, malapetaka tak memandang siapa, kenangan yang ia ukir selama belasan tahun bersama keluarganya di rumah itu hancur tak bersisa dari terjangan banjir bandang lahar dingin—yang dikenal dengan nama Galodo oleh orang Minangkabau—pada Sabtu (11/5/2024).

Malam Minggu kelabu (11/5/2024), hujan tak kunjung reda. Memang, hari-hari sebelumnya hujan dengan intensitas tinggi terus mengguyur wilayah Tanah Datar tersebut. Tak ada juga yang menyangka bahwa Galodo akan datang malam itu. Pada Sabtu (11/5/2024), Tim Dompet Dhuafa mendatangi kediaman Kartini, yang saat ini tengah mengungsi di rumah putri sulungnya. Saat ditemui, Kartini mulai bercerita bagaimana bencana itu merenggut harta benda, meninggalkan kenangan di dalamnya.

Baca juga: Banjir Lahar Dingin Galodo Melanda Sumbar, Ini Respons Cepat Dompet Dhuafa di Lapangan

Kisah Kartini Hadapi Galodo Sumbar
Puing-puing rumah Kartini yang diterjang Galodo.
Kisah Kartini Hadapi Galodo Sumbar
Puing-puing rumah Kartini setelah banjir bandang menerjang.

Saat Galado menerjang, Kartini dan keluarganya telah rampung makan dan salat, lalu menikmati waktu bersama di depan televisi sebelum mata terpejam. Mendadak gemuruh menggugah malam, memaksa Kartini menatap ke luar rumah.

“Semuanya tidur, terus kami dengarlah bunyi gempar, jadi tengok ke luar. Rupanya air yang besar, jadi ndak tahan lagi turun dari rumah, langsung Amak ke atas. Rumahnya ndak layak lagi,” ujar Kartini.

Sekejap saja, rumah Kartini tak bisa bertahan lama, tak lagi mampu melindungi, tak lagi layak untuk ditempati.

“Ada guncangan sama gemuruh, Amak ngucap-ngucap aja, cuma badan tuh menggigil, ndak kuat lagi. Dibawa digendong anak dan Amak digendong anak, terus tiba di tempat itu perut Amak mual-mual. Terus sampai pagi ndak tidur lagi. Perasaan tuh ndak enak, perut juga ndak enak, takut. Udah ndak kuat lagi mau tengoknya,” terang Kartini.

“Lari ke atas, ke tempat kandang sapi. Pertama kali nyelamatin diri ke situ. Lantaran airnya tambah besar lari lagi ke atas, ada kandang sapi, nyelamatkan diri saja, nginep di kandang sapi,” tambah Kartini.

Baca juga: Dompet Dhuafa Sigap Respons Bencana Banjir Bandang dan Lahar di Sumbar

Kisah Kartini Hadapi Galodo Sumbar
Meri, putri sulung Kartini yang akhirnya kembali menengok rumah setelah bencana Galodo.
Kisah Kartini Hadapi Galodo Sumbar
Akses utama – pembangunan jembatan darurat menuju Sungai Jambu.

Kemudian, terdapat sekitar lima kepala keluarga yang berkumpul di sana. Kartini tetap terjaga hingga pagi hari tanpa sedikit pun tidur.

“Perasaan ndak enak. Ketakutan, jantung ini debar-debur, mikirin tempat tinggal lagi, gimana tinggal, entah di mana itu pikiran. Kondisi rumah kayak itu lah, dapur semuanya ndak ada lagi, alat peraga (alat masak) di dapur ndak ada lagi. Untuk masak-masak ndak ada, cuma kain baju yang selamat sedikit,” tutur Kartini, sembari mengingat-ingat peristiwa Galodo malam itu.

Dalam keadaan panik dan tak berdaya, Kartini menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang-orang di sekitarnya tersapu arus deras, berusaha keras untuk menyelamatkan diri. Pemandangan memilukan ini meninggalkan bekas mendalam di hati Kartini, mengingatkan betapa rapuhnya kehidupan di hadapan kekuatan alam yang tak terbendung.

“Karena takut nampak air itu sudah tinggi, sampai ndak mau di pinggir laman tuh. Tinggi lah (air), Nak. Kalau ditengok ada lah sekitar tiga meter, kayak di laut itu. Jadi Amak ndak tahan lagi tengoknya, ada bebatuan juga, namanya orang hanyut ndak tega lagi nengoknya, baru pindah ke atas,” ungkap Kartini dengan perasaan yang masih tersisa.

Baca juga: Rumah ke Rumah, Makanan Siap Santap Hampiri Para Penyintas Erupsi Gunung Ruang

Kisah Kartini Hadapi Galodo Sumbar
Material vulkanik yang masih membasahi wilayah Tanah Datar.
Kisah Kartini Hadapi Galodo Sumbar
Puing-puing rumah Kartini yang diterjang Galodo.

Setelah banjir mulai surut, tepat pukul 10:00 WIB, barulah Kartini dan keluarganya menyebrang melewati Sungai Jambu. Sungai yang semula berjarak 10 meter dari rumahnya dengan lebar sekitar 4-5 meter, kini berubah menjadi lautan bebatuan besar, dan dipenuhi dengan lumpur (material vulkanik yang berasal dari gunung Marapi). Sebelumnya terdapat tiga jembatan menuju kampung sebelah, namun semuanya lenyap.

“Nyebrangnya ngelewatin sungai, gimana lah susah. Sekarang sementara tempat tidur anak nih lah menunggu di sana, numpang dulu di rumah anak, semuanya ada di sini,” sambungnya.

Bukan hanya itu, sang suami yang bermata pencaharian sebagai petani juga turut mendapatkan dampak yang sama. Dengan kondisi sawah yang sebentar lagi panen, kini hanya menjadi tumpukan lumpur dengan aroma belerang yang menyengat. Ia juga telah kehilangan salah satu anggota keluarganya yang masih bersepupu dengannya.

“Saudara yang di rumah atas meninggal, orang tuanya yang hilang masih saudara sepupuan. Makanya rumahnya dekat-dekat saja di situ. Mungkin tertidur waktu itu,” ujarnya.

Baca juga: Gunung Marapi Erupsi, Dompet Dhuafa Gerak Cepat Lakukan Penanganan di Wilayah Terdampak

Kisah Kartini Hadapi Galodo Sumbar
Kholil, putra bungsu Kartini saat melihat kembali rumahnya, menemukan boneka milik kakaknya yang sudah tidak layak.

Setiap kali hujan turun, trauma itu kembali menghantui Kartini, tak terbendung oleh waktu. Hujan yang dulu dianggap berkah kini menjadi pemicu ketakutan yang mendalam. Setiap tetes air yang jatuh mengingatkan pada kejadian tragis yang merenggut kenyamanan dan rasa aman.

Memicu bayang-bayang mengerikan tentang banjir besar yang menghanyutkan segala yang dimiliki. Rasa panik dan ketidakberdayaan kembali menyeruak, membuat hati berdebar dan pikiran kembali ke malam penuh bencana. Trauma itu terus membayangi, membuat setiap hujan menjadi pengingat akan kerapuhan dan ketidakpastian hidup.

“Masih trauma saja, masih ketakutan kalau hujan. (Karena) dibilang kata orang kan ada susulan, orang ngomong kan kalo ndak dipikir-pikirin, itu masuk kepikiran juga. Jadi masih ada rasa trauma,” kata Kartini.

Baca juga: Edukasi Kapasitas Tanggap Darurat Erupsi Merapi Guna Penanggulangan Bencana

Kisah Kartini Hadapi Galodo Sumbar
Kartini (56) penyintas banjir bandang Galodo.

Galodo yang melanda Sumbar membuat Kartini bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin memiliki rumah yang layak, namun tidak tahu dari mana harus memulai. Keinginan untuk membangun kembali tempat tinggal yang aman dan nyaman terhalang oleh ketiadaan tanah dan dana. Segala sesuatu tampak tidak pasti, dan bahkan jika rezeki tiba, Kartini masih tidak tahu di mana ia bisa mendirikan kembali rumahnya.

Menjelang Iduladha, meski masih diambang ketidakpastian, ia hanya berharap bencana Galodo semacam ini hanya terjadi sekali dalam hidupnya.

“Ya kalau Ibu boleh minta, kali ini saja kejadiannya. Sudah yang sebelumnya, jangan terulang kembali. Iduladha belum tahu lah Nak, ndak ada apa-apa ndak punya persiapan,” tutup Kartini penuh haru. (Dompet Dhuafa)

Teks dan foto: Anndini Dwi Putri
Penyunting: Dhika Prabowo, Ronna