Keterbatasan Fisik, Hasanudin Bangga Jadi Pendidik

Siapa yang tak kenal dengan sosok Ki Hadjar Dewantara? Ya, pahlawan nasional yang dihormati sebagai Bapak Pendidikan Nasional di Tanah Air. Dedikasinya dalam dunia pendidikan begitu nyata lewat keberaniannya dalam menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, di mana hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda dan berketurunan ningrat saja yang boleh mengenyam bangku pendidikan.

Atas keberaniannya mengkritik pemerintah kolonial kala itu, Ki Hadjar Dewantara pun diasingkan ke Belanda. Meski demikian, semangatnya dalam memajukan pendidikan di Tanah Air terus berkobar di dalam dirinya. Setelah berhasil kembali ke Indonesia, Bapak Pendidikan Nasional ini mewujudkan cita-citanya dengan mendirikan lembaga pendidikan bernama Taman Siswa. Menghormati jasa dan kontribusinya yang begitu besar dalam dunia pendidikan di Indonesia, pemerintah pun menetapkan tanggal kelahirannya yakni 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Hari Pendidikan Nasional, seyogyanya tidak hanya diperingati dan dimaknai sebagai momentum semata. Namun menjadi langkah nyata bagi kita generasi cemerlang penerus bangsa untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Berkaca dari sosok Ki Hadjar Dewantara sang pelopor pendidikan, sosok yang satu ini patut dijadikan teladan bagi kita semua dalam membawa pendidikan bangsa Indonesia ke arah lebih baik.

Keterbatasan fisiknya, tak menyurutkan derap langkahnya, melaju menyebarkan ilmu yang bermanfaat bagi anak-anak generasi penerus bangsa. Di desa Batang-batang Laok, Kabupaten Sumenep, Madura, pria bernama Hasanudin (40), mengabdikan diri, menjadi seorang guru di sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI)  Shibyan, yang terletak tak jauh dari tempat tinggalnya.

Sambil berjalan tertatih-tatih, Pak Udin, demikian sapaan akrabnya sehari-hari begitu semangat melangkahkan kakinya menuju sekolah. Sejak lahir, Pak Udin yang dikenal murah senyum ini telah mengalami keterbatasan fisik bagian kedua tangan dan kakinya. Meski demikian, hal tersebut tak membuatnya merasa kecil hati, dan putus harapan dalam menjalani kehidupan.

“Saya cacat (fisik) di dunia, tapi insya Allah saya tidak akan cacat nantinya di akhirat. Karena ilmu manfaat yang saya berikan untuk anak-anak,” ungkapnya dengan logat Khas Madura.

Pak Udin menyadari, menjadi pendidik dengan status honorer tidaklah seberapa penghasilan yang diterimanya. Dalam sebulan, ia hanya menerima hasil jerih payahnya kisaran Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu. Ia tak pernah sekali pun mengeluh, dan mempersoalkan pendapatan yang diterimanya tersebut. Menjadi tenaga pengajar sejak tahun 1995, Pak Udin mengaku pernah merasakan tidak dibayar hingga tahun 2000.

“Niat saya hanya untuk ibadah. Selama jantung masih berdetak dan nafas ini masih berhembus, keinginan saya hanya satu, bisa bermanfaat bagi banyak orang, ya dengan menjadi guru,” ucap Pak Udin, penerima penghargaan Dompet Dhuafa Awards 2015 dalam bidang pendidikan ini.

Sungguh, kegigihan pak Udin atas dedikasinya dalam dunia pendidikan, membuat masyarakat takjub. Tak mudah menemukan sosok seperti Pak Udin yang tetap mendidik anak-anak di kampungnya, meski dengan upah yang sekedarnya dan pernah sama sekali tidak dibayar. Sosok Pak udin menjadi cerminan pahlawan masa kini yang terus menebar manfaat, demi mencerdaskan generasi penerus bangsa. (Dompet Dhuafa/Uyang)