DILI, TIMOR LESTE — Kumandang azan Subuh yang syahdu terdengar dari speaker Bandara Internasional Soekarno Hatta, menandakan waktu salat sudah masuk. Jemaah pun diharapkan segera mendekati masjid maupun musala yang ada di sekitar Terminal 3 bandar udara tersebut. Namun pada Kamis (14/3/2024), 4 orang Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Timor Leste tidak dapat menjangkau tempat salat terdekat. Sebab, waktu boarding sudah dibuka sebelum azan dan waktu take off pesawat tersisa hitungan menit saja.
Dengan berat hati suara azan tersebut dilalui sembari mengarahkan langkah kaki ke belalai yang menyambungkan gedung bandara dengan pesawat menuju Denpasar, Bali. Meskipun tak dapat salat, para dai sudah memiliki wudu, karena masih bisa menggunakan air untuk salat Subuh secara safar di atas bangku pesawat. Penerbangan dini hari tersebut terpaksa diambil, karena para dai mengejar penerbangan lanjutan ke Dili, Timor Leste pada pukul 09.30 WIT.
Seusai mendarat dengan selamat di Denpasar sekitar pukul 08:00 WIT, para dai harus bergegas mencari tempat check-in untuk penerbangan internasional. Karena, waktu yang dimiliki sangat sempit, hanya sekitar 1 jam 30 menit.
“Dari sini keluar dulu, nanti belok kanan ke arah counter penerbangan internasional. Bisa diantar naik mobil golf,” jawab petugas counter penerbangan lanjutan domestik saat ditanya oleh para dai.
Baca juga: Kisah Dai Ambassador 2024: Masjid Al-Ikhlas Yongin Jadi Cermin Kebersamaan Umat Muslim di Korsel
Masih dalam suasana yang bingung mencari tempat check-in penerbangan internasional, seorang dai bertanya kepada Ustaz Dede mengenai pengambilan bagasi untuk dimasukan kembali ketika check-in. Pasalnya, di balik boarding pass ketiga dai, hanya ada satu dai yang tertulis bahwa bagasinya tujuan Dili. Sementara, 3 dai lainnya hanya tertulis Denpasar.
Hal ini membuat 3 dai yang bagasinya hanya sampai Denpasar kelimpungan. Pasalnya, khawatir waktu yang tersedia tidak mumpuni, dan kemungkinan antrean untuk mendapatkan stempel keberangkatan panjang. Sebagai ketua rombongan, Ustaz Dede pun membagi tugas agar yang sudah ada tulisan “Dili” jalan duluan melanjutkan proses check-in sambil mencari informasi akurat. Sedangkan yang lainnya menunggu bagasi terlebih dulu sambil melakukan ikhtiar lain.
Di balik kekhawatiran itu, ada seorang petugas dari maskapai menyatakan bahwa jika hanya transit di Bali ketika di bandara awal, maka bagasi tidak akan keluar di Bali, meskipun tulisan di balik boarding pass tersebut belum ada kata “Dili”. Sontak kami berempat bernafas lega, karena sudah tidak perlu menunggu bagasi keluar dan membawanya ke counter check-in terminal internasional.
Perjalanan dari terminal domestik ke terminal Internasional tidak begitu singkat. Beberapa kantor di dalam kawasan terminal dilewati. Seperti kantor polisi kawasan bandara, kantor karantina pertanian, dan lainnya. Setelah masuk ke dalam gedung terminal internasional, keempat dai harus menuju ke lantai 3. Ketika berada di lantai 3, terlihat jelas tulisan musala. Hal ini memberikan arti yang baik bahwa di Bandara Bali yang penduduk muslimnya minoritas, ternyata ada fasilitas yang mumpuni untuk umat Islam.
Baca juga: Kisah Dai Ambassador 2024: Perjalanan Bimbing Tahsin Qiraah di Masjid Darussalam Baran Korsel
Perjalanan pun berlanjut kepada saat yang mendebarkan, yaitu meja imigrasi sebelum memasuki pesawat.
“Pertama kali ke Dili?” tanya petugas kepada Ustaz Dede.
“Iya pak,” jawab Ustaz Dede.
“Untuk apa?” tanya petugas lagi.
“Visiting friend,” jawab Ustaz Dede.
Memang benar, Ustaz Dede akan mengunjungi Ustaz Anwar Da Costa di Masjid An-Nur Dili.
“Berapa lama?” tanya petugas.
“29 hari,” jawab para dai.
“Sudah beli tiket pulang?” tanya petugas.
“Sudah pak,” jawab Ustaz Dede sembari memperlihatkan tiket pulang dari layar handphone.
Ustaz Dede mengisahkan bahwa saat petugas melihat hpnya, ia berusaha tersenyum senyaman mungkin, meskipun di hatinya ada kecamuk badai yang kuat karena takut jika tidak diizinkan melanjutkan perjalanan. Namun alhamdulillah, paspor para dai pun dicap stempel, menandakan mereka lolos pemeriksaan imigrasi.
Baca juga: Kisah Dai Ambassador 2024: Ramadan Syahdu di Masjid Al Anwar Incheon yang Dikelilingi Gereja
Setibanya di Dili, cuaca mendung, hawa dingin terasa. Kaca di pesawat pun berembun. Ketika turun dari pesawat, petugas lapangan parker pesawat mempersilakan kami untuk berfoto di depan bacaan Aerporto Internacional Presidente Nicolao Lobato, dan petugas imigrasinya pun ramah dan penuh senyum. Petugas bagasi juga ramah dan petugas bea cukai juga menjalankan SOP yang berlaku dengan baik tanpa ada hal yang berlebihan.
Di samping tempat mengambil bagasi, Pandu dari Pensosbud KBRI Dili sudah menunggu para dai, beserta dua orang Staf KBRI Dili. Mereka diantarkan dengan Hi-Ace Kedutaan Besar RI dari bandara menuju Masjid An-Nur. Sesampainya para dai di sana, azan Zuhur pun berkumandang, dan mereka bisa menunaikan salat Zuhur dengan leluasa. Serta, bisa bersilaturahmi dengan pimpinan An-Nur, Abdurrahman Sigran, dan juga Anwar Da Costa.
Keempat perwakilan Dai Ambassador Dompet Dhuafa disambut hangat di Dili, baik dengan petugas Timor Leste, dengan mitra, maupun dengan KBRI Dili yang mendampingi tugas kami di Timor Leste. Bagi Ustaz Dede, ini adalah perjalanan yang menyenangkan di awal tugas dakwah yang akan berjalan selama bulan Ramadhan di Timor Leste.
Kamis, 14 Maret 2024
Dede Permana, Dai Ambassador Dompet Dhuafa