SUMUR — Ini kisah Anda dan Acep. Dua nelayan yang merasakan langsung dampak dari tsunami yang menghantam kampungnya, Sumur, Pandeglang. Mereka berkisah tentang riwayat mereka dapat selamat dari hantaman tsunami tersebut.
Pada waktu itu, sebelum tsunami meluluhlantahkan pesisir pantai di wilayah Sumur. Mereka tidak memutuskan berlaut, lantaran pada waktu itu sedang ada pasar malam. Mereka sengaja pergi ke sana untuk rehat sejenak dari sibuknya aktivitas nelayan. Walaupun ada beberapa kawan mereka yang memutuskan berlaut untuk mencari tambahan nafkah.
“Kita mah sedang istirahat malam itu. Kebetulan malam itu kan memang malam Minggu. Biasanya hari Sabtu dan Minggu suka ada pasar malam. Makanya kita memutuskan ke sana, buat hiburan gitulah,” ujar Anda.
Namun selepas balik dari pasar malam, mereka melihat ada ombak besar yang datang ke arah lokasi berdiri. Sontak mereka langsung mencari tempat teraman untuk menghindar.
Berdasarkan pantauan terbaru, terdapat beberapa bangunan yang tidak rata dengan tanah. Salah satu bangunan tersebut adalah bangunan yang disinyalir milik militer. Bangunan tersebut hanya bagian dalam, di lantai bawahnya saja yang porak-poranda. Namun dindingnya masih kokoh. Itu terbukti lantaran salah satu tim Dompet Dhuafa menanjaki tangga bangunan tersebut, guna mendapatkan gambaran lengkap wilayah terdampak.
Bangunan itulah yang membuat Anda dan Acep selamat. Mereka langsung naik ke lantai tertinggi, berpegangan erat ke bangunan tersebut sambil melafalkan doa-doa.
Setelah tsunami menghantam mereda. Mereka lega, masih dikasih kesempatan untuk hidup hingga hari ini. Namun di sisi lain, terluka karena banyak juga kawan-kawan mereka yang tidak selamat, terutama yang tengah berada di pesisir pantai. Sedangkan mereka yang berlaut, selamat tanpa mengetahui bagaimana penampakan tempat berlabuh mereka yang tersapu oleh dorongan ombak rakasasa bernama tsunami.
“Beruntung bagi mereka yang melaut. Karena nggak lihat langsung tsunami. Ditambah lagi perahu mereka tidak ikut hancur,” tambah Acep.
Total kerugian yang mereka rasakan berpuluh-puluh juta. Bahkan sulit untuk memperkirakan pasti kerugian mereka. Pasalnya perahu dan bagan sendiri biaya pembuatannya terbilang mahal.
“Biaya pembuatan perahu itu sekitar Rp. 40 juta. Sedangkan biaya bagan total Rp. 60 Juta. Itu baru biaya pembuatannya. Belum alat-alat lainnya seperti umpan, jaring dan operasional selama di bagannya sendiri,” lanjut Acep.
Walaupun demikian, mereka berterima kasih atas bantuan yang terus-menerus mengalir dari berbagai pihak. Salah satunya Dompet Dhuafa. Mereka mampu menyambung hidup lewat bantuan-bantuan tersebut. Meski terkadang mereka suka rindu akan suasana melaut bersama kawan-kawan lainnya.
“Satu perahu itu biasanya diisi oleh empat sampai lima orang nelayan. Kita saling bahu-membahu dalam bekerja. Tapi setelah tsunami, kami jarang bertemu. Karena situasi untuk melaut juga belum bisa. Sama juga modal yang dibutuhkan tidak kecil,” lanjut Anda.
Hingga saat ini mereka suka mendatangi pantai, tempat mereka bersiap-siap dengan semangat untuk menangkap ikan dan bertukar canda tawa selama bekerja.
“Sekarang mah kita cuma bisa cek bolak-balik ke pantai. Berharap bisa kembali segera ke laut dan menafkahi keluarga. Kangen sama suara percikan air ketika ikan ditangkap. Kangen makan bareng ketika menunggu di bagan. Banyak kangen-kangennya deh,” tutup Acep.
Lalu mereka kembali menelusuri ingatan-ingatan mereka sambil berjalan pelan menatap perahu dan bagang yang terkoyak di pantai. (Dompet Dhuafa/Fajar)