Kisah Edi, Penjual Koran Disabel

JAKARTA — Panas terik mentari menyengat tubuh. Kepulan asap yang keluar dari kendaraan menambah panas udara di sepanjang jalan Ibu Kota. Keringat yang mengucur dan rasa lelah tak sekalipun dihiraukan oleh Edi (39). Pria yang sehari-hari berdagang koran disekitar lampu merah Matraman, Jakarta Pusat, ini begitu bersemangat menjajakan koran yang ia jual sejak pagi hari.

Bagi Edi, Jakarta merupakan kota yang diyakininya mampu mewujudkan impian untuk kehidupan yang lebih baik. Setelah sebelumnya Edi tak mendapatkan pekerjaan di kampungnya, Kebumen, Jawa Tengah. Edi bertekad untuk mencari penghidupan di ibu kota. Pengalaman teman sejawat yang sukses di Jakarta, semakin menambah daya dorong Edi untuk segera merealisasikan mimpinya. 

Edi yang sudah sejak 1997 merantau ke Jakarta, sudah malang-melintang merasakan pahit dan getirnya kehidupan ibu kota. Sempat beberapa kali menjalani beragam pekerjaan, ia akhirnya semakin meneguhkan profesinya sebagai pedagang koran. Berbeda dengan pedagang koran lain, ia merupakan seorang penyandang disabilitas. Ia hanya memiliki satu kaki akibat mengalami kecelakaan kereta pada 1998 silam.

Menjadi penyandang disabilitas merupakan tantangan tersendiri bagi Edi. Karena hal itu, ia bertutur sering mengalami razia penertiban saat berjualan. Ia sering mendapat stigma sebagai seorang gelandangan dan mengeksploitasi kemiskinan. Padahal hal semacam itu tak benar dan ia hanya bisa menjelaskan semampunya.

“Namanya saya punya satu kaki, saya dituduh ngemis. Padahal waktu itu, saya lagi istirahat, taro dagangan di pos. Eh malah saya dituduh minta-minta di jalan”, tutur pria kelahiran 1977 ini pada petugas survey LPM Dompet Dhuafa di lokasi berjualannya.

Beruntung bagi Edi, semenjak kejadian yang terus berulang tersebut, ia kini bisa bernafas lega. Lantaran ia tak pernah berurusan lagi dengan aparat keamanan. Karena ia begitu familiar di mata petugas. Edi pun memaklumi anggapan bahwa ia memanfaatkan keterbatasannya tersebut. Pasalnya, pada saat menjajakan koran, ia sama sekali tak menggunakan kaki palsunya untuk menawarkan koran pada pelanggan.

“Sengaja saya gak pakai kaki palsu. Karena kalo saya pakai suka panas kalau siang dan bikin kaki saya lecet. Kalau keseringan dipake juga gampang lapuk. Nanti susah belinya lagi,” ujar Edi, memberi penjelasan.

Walau sudah lama merantau di Jakarta, hidup Edi ternyata masih jauh dari berkecukupan. Seringkali ia berpindah kontrakan. Karena tak mampu membayar uang sewa. Ia bercerita, jika mendapat tempat tinggal yang murah, itu pun terletak di bantaran kali atau pun tempat kumuh.

Kini Edi dan istri berdomisili di Jl. Masjid Al-Makmur RT 016/07, Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Walau mereka baru ditinggal anak semata wayang, tak menyurutkan tekad Edi untuk membahagiakan keluarga yang sangat ia cintai. Penghasilan Edi yang hanya meraup pundi-pundi sekitar Rp.50.000 hingga Rp.75.000 per hari, masih dirasa kurang jika dibandingkan dengan besarnya biaya hidup yang harus ditanggung. Edi pun menuturkan jika anak semata wayangnya meninggal juga disebabkan tak memiliki cukup biaya untuk berobat. Di balik itu semua, ia bersyukur masih dapat makan sehari-hari dan mendapat nikmat sehat untuk bekerja mencari nafkah.

Kemiskinan yang kompleks dialami oleh Edi. Hal tersebut membuat Dompet Dhuafa tergerak untuk membantu Edi dan keluarga melalui program “Disabilitas Mandiri”. Dompet Dhuafa membantu Edi, membantu modal usaha untuk setoran koran, biaya kontrakan, dan biaya hidup sehari-hari. Mudah-mudahan dengan amanah para donatur tersebut, dapat meringankan beban Edi untuk tetap survive di Jakarta.

“Terima kasih Donatur Dompet Dhuafa atas donasinya. Mudah-mudahan Allah balas dengan pahala yang berlipat ganda. Amin,” doa Edi untuk para donatur sekalian. (Dompet Dhuafa/TB Imam N)