Kisah Pasien Dhuafa: Empat Tahun Cuci Darah, Dewi Ingin Sembuh

berobat-gratis-di-bogor

BOGOR — Mahadewi Siregar (60), sudah rutin melakukan hemodialisa atau cuci darah selama empat tahun terakhir. Sejak didiaknosa menderita gangguan ginjal, tidak ada pilihan lain bagi Dewi untuk melakukan rutinitas tersebut. Dua kali setiap minggunya. Berada di ruang hemodialisa RS Rumah Sehat Terpadu (RST) Dompet Dhuafa, ia beriktiar mengharap sembuh. Tahun pertama menjadi waktu paling sulit bagi Dewi. Sembari santai melakukan proses hemodialisa, Dewi menceritakan kisah perjalanannya bersama sakit yang ia derita.

“Tahun pertama itu berat mas, saya tinggal di Bogor dan harus berobat ke (RSUP) Fatmawati atau RSCM di Jakarta. Untuk transportasi saja sudah makan biaya. Belum lagi cuci darah juga mahal,” terang Dewi.

Sekali melakukan hemodialisa, setidaknya ia harus mengeluarkan biaya Rp. 900 ribu hingga Rp. 1,5 juta. Menjadi ujian besar bagi Dewi, seorang janda berumur 60 tahun yang hanya pekerja serabutan. Tak ada pilihan lain bagi Dewi, hemodialisa yang seharusnya dilakukan dua kali sepekan, ia hanya lakukan ketika ada biaya yang cukup.

“Saya lakukan ginian (hemodialisa) kalau ada rejeki saja,” kata Dewi lirih.

Beruntung bagi Dewi, ia dipertemukan dengan tim RS RST Dompet Dhuafa yang beralamat di Parung, Bogor. Sebuah rumah sakit berbasis wakaf yang menasbihkan diri untuk kemaslahatan umat, khususnya kaum dhuafa. Oleh pihak RST, Dewi dikategorikan sebagai pasien dhuafa dan harus mendapatkan pelayanan medis yang mencukupi. Sebagai member pasien dhuafa, Dewi berhak mendapatkan pelayanan medis secara cuma-cuma tanpa harus mengeluarkan uang sedikitpun.

“Obat-obatan juga diberikan. Bahkan ada ambulance yang menjemput saya di rumah, gratis,” tambahnya, yang kali ini lebih bersemangat menceritakan kisahnya.

Tidak seperti sebelumnya, selama tiga tahun belakangan, Dewi rutin melakukan cuci darah dua kali setiap pekannya. Ia datang ke rumah sakit dengan tenang tanpa beban. Juga tanpa harus mengkhawatirkan biaya transportasi atau lain sebagainya. Dewi kini fokus untuk optimis melawan penyakit yang ia derita. Keramahan perawat dan saran dokter menjadi bumbu motivasi bagi Dewi untuk segera pulih.

“Saya senang sekali di sini, perawatnya ramah. Walau saya cuma pasien gratisan. Tapi sama sekali tidak dibeda-bedakan,” aku Dewi.

Selain itu, motivasi terbesar bagi Dewi untuk sembuh ialah anak semata wayangnya. Keterbelakangan mental yang anaknya alami sedari kecil, membuat Dewi mesti tetap menjaganya. Dewi khawatir bila ia tiada, siapa lagi yang bisa merawat anaknya.

“Saya harus sembuh. Karena anak saya itu keterbelakangan, jadi ya saya harus terus rawat,” terang Dewi sambil tersenyum. (Dompet Dhuafa/Zul)