BOGOR — Berbekal pelatihan yang diikutinya dari Dinas Sosial, Cecep kemudian mencoba di beberapa konveksi yang ada di sekitar Bogor dan Cibinong. Sempat ia diterima dan bekerja di salah satunya. Namun, hari demi hari, minggu demi minggu, hingga bulan demi bulan, ia merasa kurang nyaman lantaran jarak rumah dan tempat kerja yang begitu jauh. Upahnya yang tak seberapa itu banyak habis untuk transportasi saja.
“Waktu itu ada pelatihan di Dinas Sosial. Kemudian saya mencoba melamar pekerjaan di beberapa konveksi. Tapi karena lokasinya jauh jadi upahnya banyak yang habis buat di jalan,” ungkapnya.
Meski begitu ia tetap mencoba melakoninya sebagai bentuk perjuangannya. Hingga pasa suatu ketika ia merasa ada kecocokan dengan seorang perempuan yang begitu memahaminya.
Perempuan itu bernama Ade Humairoh, juga seorang pengidap polio asal Kampung Babakan Tarikolot, Kelurahan Nanggewer, Cibinong. Kabupaten Bogor. Merasa sama-sama cocok, Cecep kemudian memberanikan diri untuk meminang tak peduli nanti apa kata orang. Tahun 2006 menjadi tahun yang begitu membahagiakan bagi mereka berdua. Sebuah ikatan suci terjalin berpadu dengan besarnya kekuatan batin.
Usai menikah, mereka berdua memutuskan untuk hidup mencari penghidupan di sebuah kios di samping rumah orangtua Ade. Dibuatnya bagian depan sebagai kios tahitan, sedang bagian belakang sebagai ruang beristirahat dan ruang keluarga yang hangat. Menurut Cecep, memilih tinggal di Nanggewer, sebab lokasinya lebih dekat dengan kota. Dengan begitu berbagai akses untuk orang seperti dirinya dapat lebih mudah dujangkau. Hingga kini pasutri ini dikaruniai dua anak, mereka masih menetap di sana.
“Kalau di kampung justru kesusahan untuk mendapatkan akses. Kalau di sini kan banyak teman-teman yang senasib dan untuk mendapatkan akses seperti pelatihan, komunitas, usaha, dan lain-lain itu lebih mudah. Di sini saya merasa lebih banyak memiliki teman. Di kampung pun pekerjaannya kan berat-berat seperti kuli bangunan, kuli tani atau butuh tani, nah itu tidak ada yang mau mempekerjakan orang seperti saya ini,” katanya.
Jika Cecep mengalami kelumpuhan pada kaki, berbeda dengan sang istri yang kelumpuhannya pada tangan. Ade bercerita bahwa ia terkena polio saat masih kecil, masa di mana sama dengan yang dialami oleh suaminya. Jalan cerita dua sejoli ini pun terasa mirip. Dari saat mau masuk sekolah dasar hingga saat dewasa ia memilih untuk mengikuti pelatihan oleh Dinas Sosial yang kemudian pada akhirnya mempertemukannya dengan sang pasangan hidup.
“Selain di Dinsos, Saya juga ikut kursus menjahit di swasta. Saya belajar pola-pola menjahit ya dari situ,” ucap sang istri.
Kekurangan masing-masing pasangan ini pun menjadi pelengkap satu sama lain. Jika ada pesanan atau kerjaan, sang suami yang menjahit sedangkan sang istri yang membuat polanya dan memotong. Masing-masing pun juga saling belajar satu sama lain.
Cecep melanjutkan, sebelum menikah, awalnya sang istri sudah mulai membuka usaha jasa jahit. Namun hanya sekadar mengisi kegiatan saya dengan menerima pesanan dari rumah. Saat itu Cecep berniat ingin sekali mengembangkan usaha jahit Ade. Langkah awal yaitu dengan terlebih dahulu menikahinya, kemudian bersama-sama menyewa satu kios untuk dijadikan tempat tinggal sekaligus tempat usaha.
“Sebelumnya istri sudah membuka usaha jahitan namun hanya menerima pesanan di rumah saja. Kemudian menikah dengan saya, terus saya ikut mengembangkan. Saya ajak dia untuk berani bareng-bareng buka kios sendiri untuk usaha jahit. Jadi setelah menikah baru buka kios jahit ini,” sambungnya. (Dompet Dhuafa / Muthohar)