TSIM SHA TSUI, HONG KONG — “Saya terpukul mendengar kabar ayah meninggal dunia. Baru hari ke sepuluh saya bertugas di Hong Kong,” aku Ustazah Maryanti (36), salah satu Daiyah Ambasador Cordofa (Corps Dai Dompet Dhuafa).
Kabar tersebut datang saat ia selesai melakukan ta’lim di Yuen Loong. Perasaan tidak enak, ingin segera pulang ke shelter untuk istirahat. Sesampainya di shelter, kabar tersebut datang 10 menit kemudian.
Namun Ustazah Maryanti memutuskan untuk tetap berada di Hong Kong, dengan tegar ia melanjutkan tugas dakwahnya dan ikhlas merelakan sang ayahanda. Ia ungkapkan, “sebelum berangkat bapak saya bilang bahwa ia senang saya bertugas di Hong Kong. Dapat bermanfaat lebih luas lagi. Insyaa Allah dengan saya di sini, menjadi wasilah pahala mengalir untuk beliau. Jadi untuk apa memperpanjang kesedihan, lebih baik saya tetap doakan beliau”.
Kesempatan yang langka juga sebagai prinsip untuk membuktikan bahwa berdakwah di Hong Kong adalah cara terbaik juga sebagai ladang pahala untuk harapan sang ayahanda, merupakan harapan terbesar pendakwah asal Bekasi, Jawa Barat, tersebut. Selain itu, baru kali ini pula ia berjauhan dengan keluarga. Agar menjaga hubungan, maka tetap rutin berkomunikasi.
“Tidak terbiasa jauh, namun Alhamdulillah, suami dan anak-anak sangat mendukung. Ia juga ingin mewakafkan saya untuk umat, untuk dakwah,” kata Ustadzah Maryanti, saat ditemui pada Kamis (23/5/2019).
Bertugas sejak tanggal 8 Mei 2019, ia akan tempuh selama sebulan. Menurutnya, perbedaan tersebut sudah terlihat. Kondisi signifikan ketika di Indonesia, jama’ah sudah ada, memang siap hadir untuk suatu kajian dakwah. Ia katakan, “Di Hong Kong berbeda, kita yang mengajak atau mencari jama’ahnya. Bahkan lebih menantang ketika menjalankan program Dakwah On The Road, menemui dan mengajak mereka yang bahkan, bahkan belum mengenal mengaji sebelumnya. Dari segi tempat terbatas, di Hong Kong kita lakukan di pinggir pasar, di kolong jembatan, atau di taman”.
Ustadzah Maryanti melihat hal tersebut sebagai tantangan dan merasa bahwa itulah dakwah yang sebenarnya. Tentang menjemput orang agar mendapat hidayah melalui kita, tanpa paksaan.
“Kita adalah seorang dai sebelum kita menjadi apapun. Saya merasa seringkali Allah SWT memberi hidayah dan kemudahan dalam hidup. Contoh kecilnya adalah dari kuliah gratis, bahkan dibayar. Pengorbanannya juga luar biasa bagi wanita, kuliah tapi harus meninggalkan anak-anak di rumah. Maka bagi saya akan sangat murah ketika ilmu hanya untuk dunia. Saya niatkan mewakafkan ilmu untuk berdakwah,” ujar Ustadzah Maryanti.
Bergabung dengan Dompet Dhuafa melalui mengajukan diri untuk program dakwah Dai Ambassador. Setelah mengikuti rangkaian seleksi, Ustadzah Maryanti lolos untuk ditugaskan ke Hong Kong. Dari 29 Dai, terdapat 2 Daiyah, khusus untuk Hong Kong dan Macau. Karena permasalahannya kompleks dengan para Buruh Migran Indonesia (BMI).
“Maka dibutuhkan Daiyah untuk lebih mengayomi perempuan. Agar lebih terbuka ketika mengungkapkan masalah, berbeda jika bertanya pada ustadz. Jadi kurang tebuka jika mencurahkan masalah rumah tangga, solusi agar tetap utuh walau berjauhan, juga masalah anak,” lanjutnya.
Ia juga melihat para BMI di Hong Kong adalah wanita hebat yang luar biasa. Bahkan rela mengubah kodrat dari tulang rusuk menjadi tulang punggung. Mereka berpikir agar anak-anaknya kelak dapat sekolah yang tinggi dan memenuhi kebutuhan keluarga.
“Saya lihat mereka itu sebagai srikandi-srikandi Indonesia. Namun tentang sedekah dan zakat, mereka untuk mengeluarkan sesuatu itu tidak sulit. Karena mungkin mereka punya uang dan hatinya mudah tersentuh, akhirnya mudah mengeluarkan rezekinya,” aku Ustadzah Maryanti. (Dompet Dhuafa/Dhika Prabowo)