Kenapa malam Nisfu Syaban tidak seistimewa itu? Karena, dalil-dalil tentang hari Nisfu Syaban lemah, bahkan terbilang hadis dusta. Sehingga, apabila kita sebagai umat muslim mempercayainya dan melakukan ibadah-ibadah yang dianjurkan dalam dalil tersebut khusus untuk mengistimewakan Nisfu Syaban, maka kita telah melakukan bidah.
Nisfu Syaban
Nisfu Syaban adalah kata majemuk yang diambil dari kata bahasa Arab, nisfu dan sya’ban. Nisfu berarti telah mencapai tengah-tengah atau setengah. Sementara Sya’ban berarti bulan Syaban atau bulan ke-8 dalam kalender Hijriah. Jadi, Nisfu Syaban adalah pertengahan atau tengah-tengah bulan Sya’ban tahun Hijirah.
Di antara bidah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah mengistimewakan malam Nisfu Syaban dengan menggelar peringatan tertentu dan mengkhususkan amalan-amalan tertentu. Misalnya, salat sunah beratus-ratus rakaat dan menjalankan puasa khusus Nisfu Syaban.
Padahal, tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran untuk kegiatan tersebut. Ada hadis-hadis tentang fadhilah malam Nisfu Syaban, tetapi hadis tersebut daif (lemah), sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadis-hadis yang berkenaan dengan keutamaan salat pada Nisfu Syaban adalah maudhu’ (dusta).
Awal Mula Nisfu Syaban Jadi ‘Istimewa’
Ibnu Rajab dalam bukunya yang berjudul Lathaiful Ma’arif, menerangkan bahwa para Tabiin dari negeri Syam–Khalid bin Ma’daan, Makhul, dan lainnya–pernah mengagung-agungkan ritual ibadah di malam Nisfu Syaban. Kemudian, orang-orang pun mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari para Tabiin.
Manakala ritual Nisfu Syaban ini tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin. Ada yang menerima dan menyetujuinya, tetapi ada pula yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah ulama mazhab Basrah dan lainnya, sedang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia). Para ulama Hijaz sepakat bahwa perbuatan tersebut adalah bidah.
Ibnu Rajab menjelaskan bahwa ada dua riwayat yang menjadi sebab diperingatinya malam Nisfu Syaban. Riwayat tersebut menerangkan tentang dua malam hari raya, yakni malam Hari Raya Idulfitri dan Hari Raya Iduladha. Satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya beramai-ramai (berjemaah) tidak disunahkan, karena hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad Saw dan para Sahabat. Sementara, riwayat yang lain berpendapat bahwa memperingati malam tersebut disunahkan. Karena, Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia adalah Tabiin.
Begitu pula halnya dengan malam Nisfu Syaban, Rasulullah tidak pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat. Itu hanya ketetapan dari golongan Tabiin ahli fikih Syam. Al-Hafizh Ibnu Rajab lalu mengatakan bahwa tidak ada satu ketetapan pun tentang memperingati malam Nisfu Syaban, baik itu dari Nabi maupun para Sahabat.
Dalil Palsu soal Nisfu Syaban
Adapun dalil-dalil daif atau palsu tentang keistimewaan malam Nisfu Syaban antara lain:
“Jika datang malam Nisfu Syaban bersalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya.”
“Barangsiapa melakukan salat pada malam Nisfu Syaban sebanyak seratus rakaat, ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya …”
“Siapa yang membaca pada malam Nisfu Syaban ‘Qul Huwallahu Ahad’ seribu kali, niscaya Allah akan mengutus untuknya seratus ribu malaikat memberi kabar gembira kepadanya.”
Dalam buku berjudul Al-Hawadits wal Bida, Imam Abu Bakar Ath-Thurthusyiy berkata:
“Diriwayatkan oleh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: ‘Kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fikih kami yang menghadiri perayaan malam Nisfu Syaban, tidak mengindahkan hadis daif dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya’.”
Al-Hafiz al-‘Iraqi, seorang ulama hadis terkemuka dan pembesar ulama mazhab Syafi’iyah, menjelaskan bahwa hadis yang menerangkan tentang salat Nisfu Syaban adalah dusta dan pembohongan atas diri Rasulullah Saw.
Dalam kitab Al Majmu’, Imam Nawawi berkata: “Salat yang sering kita kenal dengan salat Raghaib ada (berjumlah) dua belas rakaat dikerjakan antara Magrib dan Isya pada malam Jumat pertama bulan Rajab; dan salat seratus rakaat pada malam Nisfu Syaban, dua salat itu adalah bidah dan mungkar”.
Tak boleh seseorang teperdaya oleh kedua hadis itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku Quutul Quluub dan Ihya’ Ulumuddin. Sebab, pada dasarnya hadis-hadis tersebut batil.
Baca juga: Kebiasaan dan Larangan Rasulullah di Bulan Syaban, Hari-Hari Jelang Ramadan
Malam Nisfu Syaban Sama Seperti Malam pada Umumnya
Sahabat, dengan penjelasan di atas, jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya malam Nisfu Syaban tidak seistimewa itu. Tidak ada dalil sahih yang menganjurkan salat sunah atau lainnya di malam Nisfu Syaban, atau pun berpuasa di siang harinya. Semuanya adalah bidah, tidak ada dasarnya dalam syariat Islam.
Sejumlah hadis tentang keutamaan malam Nisfu Syaban menyebut bahwa Allah turun ke Bumi mendatangi hamba-Nya pada malam ini. Padahal, turunnya Allah tidak hanya pada malam Nisfu Syaban. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari & Muslim, Allah turun ke langit dunia setiap malam pada waktu sepertiga malam terakhir, bukan hanya pada malam Nisfu Syaban. Dengan begitu, malam Nisfu Syaban tidaklah istimewa, malam ini sama dengan malam-malam pada umumnya.
Apabila malam Nisfu Syaban itu memang istimewa dan agama menganjurkan untuk “merayakannya” dengan ritual atau ibadah tertentu, maka pasti lah Nabi Muhammad Saw sendiri yang menunjukkannya secara terang dan jelas bahwa beliau mengerjakannya. Jika hal ini pernah terjadi, niscaya telah disampaikan pula oleh para Sahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyikannya. Sebab, mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasihat setelah para nabi. Wallahu ‘alam.
Semoga Allah Swt selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita, agar kita dapat berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunah. (RQA)