“Ashyhadu allah illaaha illallah wa ashyhadu anna Muhammadar rasuulullah”
Terdengar syahdu dan khidmat ucap seorang wanita dengan terbata-bata yang dipandu oleh ustadz. Tampak bibirnya agak kelu merangkai kalimat yang tak begitu akrab di telinganya, terasa asing. Butiran air mulai menggenang di pelupuk mata, seketika suaranya tertahan isak, ia pun menangis penuh rasa syukur memecahkan keheningan kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kecamatan Pamulang. Peristiwa itu tak akan pernah terlupakan oleh Marturia Moningka (41). Pasalnya, momen tersebut menjadi hari bahagianya dimana ia telah resmi memeluk agama Islam.
Tak mudah baginya untuk memutuskan pindah agama. Ada pergolakan batin menyiksa, yaitu pertentangan dengan keluarga dan ketakutan akan diasingkan dari keluarga besar. Hal itu menjadi sekelumit ancaman yang akan menghampirinya. Namun, tekad nan teguh tak menyurutkan langkahnya untuk belajar mengenal apa dan bagaimana Islam.
Kertertarikan pada Islam bermula sejak 27 tahun silam, tepatnya ketika masih menginjak sekolah SMP. Ia rajin membaca buku mengenai pelajaran Islam dan bergaul dengan teman muslim, membuat ibu dua anak ini penasaran dengan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
“Pengalaman itu membuat saya memiliki 2 keyakinan. Kristiani secara dogmatis dan Islam secara Rasional,” ungkap Marturia.
Puncak perubahan Marturia terjadi sewaktu reuni SD. Dimaa ia bertemu dengan teman-teman yang memiliki ketaatan beragama Islam dan mengalami perubahan hidup setelah pertaubatannya.
“Dari sana saya mengutarakan ketertarikan pada Islam secara terbuka kepada teman-teman saya,” jelasnya. Klimaks dari kegalauan Marturia berakhir setelah mengikrarkan dua kalimat syahadat pada Mei lalu.
Pasca pengislaman, Marturia tak berhenti resah. Keresahannya berganti ketika ia harus berpikir keras bagaimana cara beribadah, mengingat suami, kedua anak, dan keluarga besarnya tidak mengetahui dan bahkan menentang keras untuk bepindah agama. Beruntung banyak teman yang mendukung langkahnya, hingga mengenalkan pada seorang ustadzah untuk membimbing keislamannya. Dari sanalah, kemudian ia belajar shalat, mengaji, dan dengan bebas melakukan aktifitas ibadahnya. “Jadwal belajar saya pagi. Sembari menunggu anak bungsu ke sekolah, saya pergi belajar ke Ustadzah Nashroh,” ucapnya ketika petugas menyambangi rumahnya di Bukit Permata II Kelurahan Bakti Jaya Kecamatan Setu, Tangerang Selatan.
Tapi sedalam-dalamnya menyimpan bangkai pasti tercium juga. Sepandai-pandainya seseorang menjaga rahasia pasti akan ketahuan juga. Itulah yang dialami Marturia. Kedua anaknya terutama si sulung menemukan buku-buku yang tercecer dikamarnya. Namun dengan lugas dan elegan, ia menjawab bahwa sedang mempelajari semua agama dan kebetulan yang dipelajari adalah Islam. Si sulung pun hanya mengangguk seolah paham dengan apa yang diucapkannya.
“Saya ajarkan kepada anak saya untuk menerima perbedaan dan mempelajari apa yang diyakininya”,paparnya.
Sedangkan sang suami mulai menemukan jawaban atas kecurigaannya selama ini ketika menemukan banyak buku Islam dan perlengkapan Shalat. “Suami saya tidak marah, hanya mungkin kecewa saja. Dia udah lama curiga soalnya, sekarang dia banyak mendiamkan saya, dan saya tidak tahu apa yang nanti ia putuskan”, kembali ia memaparkan.
Marturia sadar sepenuhnya, bahwa saat ini ia adalah seorang muslimah. Haram hukumnya menikah dan berhubungan dengan pasangan yang non-muslim. Tetapi ia tak ingin gegabah mengambil keputusan. Ia banyak berkonsultasi dengan Ustadz termasuk dengan Ustadzah Nashroh pembimbing spiritualnya.
“Saya diminta bersabar sampai beberapa waktu untuk menunggu suami mendapat hidayah. Dan saya harus mampu memenuhi kebutuhan hidup saya jika nantinya harus hidup sendiri”, ia berujar dengan tatap mata penuh keberserahan.
Kebutuhan ekonomi memang menjadi masalah terbesar bagi para muallaf. Pengasingan keluarga, keterbatasan akses komunikasi, membuat para muallaf seolah menjadi tersudut, termasuk Marturia. Oleh karena itu, ia berencana untuk memulai langkah kemandirian ekonomi dengan berdagang pakaian atau busana muslim. Ia memulai usaha bersama Ustadzah Nashroh yang telah lebih dulu memulainya.
Ia sadar memang berat memulai segalanya dari awal, tapi satu hal yang menjadi pijakan keyakinannya melangkah sejauh ini adalah pemaknaannya terhadap Syahadat. “Agama Islam mengajarkan kita untuk Pasrah menerima Allah sebagai Tuhan kita dan juga menerima ketetapanNya. Itu yang membuat saya semakin yakin terhadap agama ini.” Ucap Marturia dengan semangat.
Dompet Dhuafa sebagai Lembaga Amil Zakat mendukung langkah kemandirian ekonomi Marturia dengan membantu usaha pakaian dan busana muslimah yang sedang dirintisnya agar lebih baik dan lebih mandiri untuk kehidupannya sehari-hari.
Tak lupa ia berterimakasih kepada Para Donatur Dompet Dhuafa yang telah membantunya dalam bantuan modal usaha ini, harapannya ia dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih dekat kepada Sang Pencipta. (LPM Dompet Dhuafa/Rifky)
Editor: Uyang