Menikah di Bulan Suro menjadi momok tersendiri bagi masyarakat Jawa. Sebab, masyarakat Jawa memercayai bahwa bulan ini adalah bulan prihatin, di mana masyarakat disarankan tidak menggelar hajatan. Apabila hal itu dilanggar, dipercayai akan mendatangkan keburukan. Namun bagaimana menikah di Bulan Suro atau Muharram dalam pandangan Islam? Apakah pernikahan di bulan ini tidak disarankan? Simak ulasannya berikut ini.
Mengapa Orang Jawa Tak Disarankan Menikah di Bulan Suro?
Ketika tanggal 1 Suro tiba, masyarakat Jawa akan melaksanakan ritual untuk menyambut kedatangan Bulan Muharram yang dalam penanggalan Jawa disebut dengan Bulan Suro atau Suran. Masyarakat Jawa telah melaksanakan tradisi ini sejak Zaman Mataram Islam di masa pemerintahan Sultan Agung. Kalender Jawa lahir di masa pemerintahan sang raja dan bermula dari tahun Saka agama Hindu yang kemudian disesuaikan dengan Tahun Baru Islam Hijriah, tepatnya pada tahun 1633 M atau 1555 dalam kalender jawa.
Malam 1 Suro memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena masyarakat Jawa memandang nilai-nilai spiritual dan mistik ada dalam pergantian tahun baru Jawa dan ini mereka jadikan salah satu acuan dalam mengarungi kehidupan.
Baca juga: Keutamaan Bulan Muharram, Muslim Wajib Tahu
Kedua, masyarakat Jawa tradisional percaya bahwa malam satu suro merupakan malam keramat atau sakral, apalagi jika bertepatan dengan hari Jumat. Sebab secara kasat mata, dalam Bulan Suro terdapat momen di mana seluruh gerbang gaib terbuka. Pergantian tahun dianggap waktu bertemunya dunia gaib dan dunia manusia dalam kosmologi orang Jawa. Untuk itu, banyak masyarakat Jawa yang melakukan interaksi khusus dengan makhluk gaib sesuai kepercayaan mereka, sehingga dijuluki sebagai bulan keramat.
Ketiga, Bulan Suro bagi masyarakat Jawa dianggap sebagai bulan prihatin. Oleh karenanya, tidaklah tepat menggelar pesta di bulan prihatin, karena diyakini akan berakibat tidak baik jika dilanggar. Demi mendapat keselamatan pada Bulan Suro, alih-alih menggelar pesta, masyarakat Jawa lebih dianjurkan untuk menggelar tirakatan atau mendekatkan diri kepada Tuhan.
Mengutip laman Berita Magelang, Budayawan Ahmad Tohari menyebut bahwa Bulan Suro dianggap bulan prihatin oleh masyarakat Jawa lantaran terkait dengan tragedi Karbala yang menewaskan cucu kesayangan Nabi Muhammad Saw, yakni Husain Ali bin Abi Thalib. Akibat peristiwa tersebut kemudian larangan menggelar hajatan pada Bulan Suro muncul, sebagai bentuk penghormatan atas meninggalnya dua cucu kesayangan Rasulullah Saw.
Baca juga: Ini Keutamaan dan Makna Tawaf dalam Ibadah Haji dan Umrah
Pandangan Islam Tentang Menikah di Bulan Suro
Melalui Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 36, Allah menerangkan bahwa ada 12 bulan yang hadir dalam kehidupan manusia di dunia. Di antara ke-12 bulan itu, terdapat 4 bulan yang disebut sebagai bulan haram oleh-Nya. Keempat bulan tersebut adalah Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab. Penafsiran ini sesuai dengan apa hadis Rasul yang berbunyi:
“Sesungguhnya zaman ini telah berjalan (berputar), sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun ada 12 bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharram. Kemudian Rajab yang berada di antara Jumadil (Akhir) dan Syaban.” (HR Bukhari dan Muslim)
Meski demikian, bukan berarti bulan selain Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab adalah bulan tidak baik. Pada intinya semua waktu baik bagi kita, dan kita bisa melangsungkan hajat apa pun setiap harinya, termasuk pernikahan. Dalam syariat Islam, tak ada hari tertentu yang dilarang untuk melangsungkan pernikahan. Dalam syariat Islam tidak ada nash yang membahas tentang penentuan hari, bulan, dan tahun tertentu untuk melaksanakan pernikahan, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadis.
Selain itu, tidak ada pula nash yang melarang seseorang melangsungkan pernikahan di bulan-bulan tersebut. Sebab, pernikahan merupakan sunatullah yang sangat dianjurkan oleh Allah Swt sebagaimana tercantum dalam surah An-nur ayat 32. Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah Saw juga menganjurkan umatnya untuk melaksanakan pernikahan apabila umat muslim telah memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Baca juga: Dai Ambassador Dompet Dhuafa Ditunjuk Jadi Wali Nikah WNI dengan Seorang Mualaf di Paris
Apabila Allah dan Rasul-Nya telah menentukan hukum sesuatu secara jelas. Baik itu wajib, sunah, haram, makruh, maupun mubah dan juga telah dijelaskan batasan serta rinciannya, maka kewajiban kita adalah berpegangan padanya sebagai penentu syariat. Sedangkan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah mensyariatkan sesuatu, sementara batasan dan penjelasan detailnya tidak disebutkan secara tegas, maka dalam masalah seperti ini, al-‘urf atau adat dan kebiasan yang telah populer di masyarakat bisa dijadikan pedoman.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk melangsungkan pernikahan dalam agama Islam tak perlu menunggu waktu, seperti hari, bulan, atau tahun tertentu. Dan menurut pandangan Islam, menikah di Bulan Suro atau Muharram tidak dilarang, alias diperbolehkan.
Dalam syarat dan rukun pernikahan yang tercantum dalam hukum Islam ataupun dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga tidak menyebutkan bahwa melakukan pernikahan harus dilakukan pada hari atau bulan tertentu. Tidak disebutkan pula ada larangan melakukan pernikahan pada waktu-waktu tertentu. Jadi, melakukan pernikahan boleh dilaksanakan kapan pun termasuk pada Bulan Suro atau Bulan Muharram.
Wallahua’lam bisshawab…