PALU — Sampai di sekolah, Anisa tidak langsung masuk kelas. Nafasnya tersengal-sengal, berat seperti habis menempuh perjalanan jauh. Wajar saja, jarak rumah bocah kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Palu tersebut, sekitar 30 menit yang ditempuh dengan jalan kaki. Beruntung apabila ada kendaraan di tengah jalan yang memberikannya tumpangan.
“Nasi kuning mahal sekali tadi, tiga ribu untuk sarapan kakak,” aku Anisa, menceritakan uang saku yang terpotong untuk sarapan di tengah perjalanannya ke sekolah.
Selesai mengembalikan tenaga, Anisa bermain dengan koleganya. Reruntuhan bangunanan, kelas yang dulu menjadi tempat belajar, kini menjadi tempat bermain favorit. Kejadian bencana berupa gempa bumi juga tsunami yang menerjang Palu, Sigi, dan Donggala 2018 lalu, masih menyisihkan dampak. Salah satunya sekolah tempat Anisa belajar. Sekolahnya runtuh sebagian, hanya sedikit ruang kelas yang masih layak pakai, dan digunakan secara bergantian untuk belajar.
“Kita menunggu giliran kakak, kelas roboh. Jadi kita gantian masuk kelas,” terang Anisa polos.
Di sela keasyikannya bermain, terkadang ia beruntung menemukan buku-buku atau alat tulis di balik reruntuhan. Kerinduannya akan ruang kelas yang dulu sering ia gunakan, sedikit terobati dengan kembali aktifnya sekolah. Setelah kejadian gempa, sempat kegiatan belajar mengajar di wilayah Palu dan sekitarnya terbengkalai. Bukan hanya murid, guru juga menjadi korban gempa. Tidak ada yang pergi ke sekolah, semua masyarakat, termasuk anak-anak pun ikut mengungsi.
Data dari BNPB, gempa bumi diikuti tsunami yang menimpa wilayah Palu, Sigi, dan Donggal 2018 lalu, telah mendampak tidak kurang dari 1.250 fasilitas pendidikan. Banyak sekolah dari tingkat sekolah dasar hinggga perguruan tinggi yang mengalami kerusakan. Mulai dari retak, ruang kelas roboh, hinggga habis terlahap liquifaksi. MI Muhammadiyah Palu yang ditempati Anisa merupakan salah satunya.
Tapi kini, Anisa sepertinya akan lebih semangat lagi berangkat ke sekolah, sekalipun harus menempuh jarak yang jauh. Sejumlah 10 unit kelas permanen ramah gempa akan dibangun Dompet Dhuafa di bekas lahan reruntuhan MI Muhammadiyah Palu. Bangunan belajar tersebut didesain tahan terhadap guncangan gempa. Sehingga para murid yang trauma terhadap gempa, seperti Anisa dapat lebih nyaman dalam menyerap materi pembelajaran.
“Iya, kita akan bangun 10 kelas permanen, sepertihalnya yang kita lakukan di tempat lain. Sebelumnya kita juga bangun sekolah ramah gempa di Lombok. MI Muhammadiyah ini mengalami rusak berat, dan untuk kelas terpaksa harus pinjam kelas, jadi kita coba bangun di sini” terang Ervan jaya, Koordinator Progam Pendidikan Dompet Dhuafa di Palu.
Sinar matahari semakin tegak lurus dengan kepala, hingga siang tidak ada pengumuman untuk masuk kelas. Ternyata kegiatan belajar mengajar ditiadakan hari itu. Guru-guru yang terbatas jumlahnya, sebagian membantu untuk memperbaiki kelas. Anisa sedikit kecewa, namun sepertihalnya anak kecil, dia tetap melanjutkan bermain dengan teman-temannya, sembari menunggu kelas baru selesai dibangun. (Dompet Dhuafa/Zul)