Menjaga Keimanan Meski Dalam Keterbatasan dari Suku Anak Dalam

JAMBI — Wajah girang anak-anak di Perkampungan Suku Anak Dalam, tak dapat disembunyikan. Mereka riang gembira seusai mendapatkan kejutan berupa makanan dan sepatu sekolah.

Setidaknya butuh 6 jam perjalanan dari Kota Jambi, dengan menggunakan kendaraan roda dua atau empat, untuk menembus kampung yang dihuni sekitar 35 Kepala Keluarga dengan 145 Jiwa, di wilayah wilayah Desa Sungai Lingkar, Kecamatan Muaro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Propinsi Jambi. Semua penduduk kampung tersebut sudah menjadi muslim.

Setelah melalui perjalanan penuh tantangan, akhirnya tim Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) dan Insan Madani, tiba di perkampungan Suku Anak Dalam, bagian dalam. Tim merasakan perjalanan yang cukup menantang dan memacu adrenalin untuk sampai ke wilayah yang dihuni suku asli Jambi tersebut. 

“Mobil offroad dan motor trail menjadi andalan rombongan untuk dapat melewati jalan tanah dan berlumpur. Berulang kali ban mobil mengalami selip dan motor terjatuh. Setelah menyebrangi sungai dan melewati hutan, akhirnya sampai juga di kawasan tersebut,” kisah Hardy Agusman, dari Cordofa, Jakarta.

Dikatakan Hardy, rasa letih serasa hilang ketika melihat senyum sumringah anak-anak Suku Anak Dalam yang antusias mengaji di mushala. Tidak hanya anak-anak, masyarakat lainpun berkumpul untuk bertemu dan bertegur sapa dengan rombongan.

“Kehadiran kami di sini untuk silaturahim dan berbagi kebahagiaan kepada ibu, bapak, serta adik-adik. Selain membawa makanan, ada donasi sepatu dari PERMITHA (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Thailand) dan Sahabat Cita. Semoga berkah para donatur nermanfaat besar di sini. Tentunya juga sukses selalu bagi para donatur,” ucap Hendra, dari Insan Madani dalam sambutannya.

Hardy melihat, masyarakat Suku Anak Dalam hidup dalam keterbatasan. Terutama untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Namun masyarakat di sana tetap semangat untuk hadir ke mushala mengikuti shalat maghrib berjamaah, dilanjutkan tausiyah dan shalawat yang telah menjadi rutinitas.

“Dulu, setiap kami lapar, kami tinggal berburu (babi) yang banyak berkeliaran. Tapi setelah kami bersyahadat, kami tahu kalau itu dilarang. Makanya semakin besar ujian hidup kami pak,” curahan Maris, selaku ketua adat.

“Haru rasanya, melihat dan merasakan perjuangan ibu bapak dalam mempertahankan keimanan di tengah keterbatasan. Kami belum tentu sanggup melewatinya. Mungkin ini cara Allah menunjukan kuasanya, agar kita peduli sesama,” tambah Hardy.

Potensi di Desa Sungai Lingkar cukup baik, tanah yang subur dan Sekolah Rimba menjadi potensi yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga masa depan pendidikan anak-anak dapat berkembang baik. (Dompet Dhuafa/Taufan YN/Cordofa)