Mereka Keluarga Kita

JAKARTA — Bagaimana jika ada yang bertanya, “Apakah Anda manusia?” Pertanyaan itu terdengar aneh, namun ada benarnya dipertanyakan. Secara fisik manusia tetaplah manusia. Tetapi, terkait moral, manusia dapat mengubah sifat dasarnya yang terkadang menjadi tak “manusiawi” lagi.

Kini, mudah menemukan video seorang anak kecil terluka dan menangis menderu-deru dalam dekapan debu. Tak sedikit juga darah segar bercucuran melengkapi tangisnya. Ia adalah korban perang. Dalam penantian damai yang tak kunjung datang, hingga dunia pun meradang. Namun perang masih tak terhalang. Bisakah dunia menyebutnya ini ulah manusia?

Beginilah dunia kita. Saat kabar seorang selebritis Hollywood membeli sofa berbanderol hampir satu milyar rupiah menjadi sorotan. Tetapi, masih di bumi yang sama, khususnya di negeri kita tercinta, lebih dari 19 juta jiwa masih menderita kelaparan (data FAO Indonesia, 2015). Jika 83,7 juta pengguna internet di Indonesia dapat saling terkoneksi dan mengenal. Maka ada segolongan yang tercatat lebih dari 19 juta jiwa yang tak mereka kenal, tengah kelaparan.

Lapar membuat kita memilah-milih menu apa yang ingin dimakan. Bahkan tak jarang harus memilih restoran atau tempat makan untuk menghilangkan rasa lapar kita. Foto menu makanan mewah hampir setiap saat berseliweran di sosial media. Namun, itu semua bertolak-belakang dengan segolongan yang lebih dari 19 juta jiwa tadi. Jangankan mengunggah foto ke sosial media, untuk dapat makan teratur dengan satu menu saja membutuhkan perjuangan besar. Karena lapar memaksa mereka menyantap apapun yang ada untuk dimakan.

Tak ada yang salah dengan diri kita, yang salah jika kita tak lagi memiliki ruang untuk berbuat kebaikan. Jangan sampai ilusi membelai waktu kita berbuat kebaikan dan perlahan mencetak manusia-manusia yang dihampiri pertanyaan, “Apakah Anda manusia?” Karena waktu yang terbuang dengan menunda kebaikan akan menciptakan jarak dari kebaikan itu sendiri.

Dunia ini kita huni bersama. Mengapa tak menjadikannya “rumah” yang nyaman untuk semua? Jika dengan berbuat baik, lebih banyak kebahagiaan. Mengapa kita tak menjaga perbuatan baik kita? Mungkin karena kita masih anggap mereka orang lain, yang sejatinya adalah saling bersaudara. Jangan biarkan saudara sesama terus merana. Bahkan harus merana atas nama makan dan lapar. Mari perluas bentangan kebaikan kita, dan inilah saatnya untuk mendekat ke mereka. Karena mereka keluarga kita. Salam HUMANESIA!