Oleh: Nurul Rahmawati
Suara riuh rendah santri sebuah TPQ sayup terdengar. Dari kejauhan saya melangkah mendekati sumber suara, menyusuri gang-gang sempit perkampungan padat penduduk kota Malang. Sesekali teriakan dan tawa yang melengking meningkahi irama hadrah yang sedang mereka mainkan. Semakin mendekat terlihat beberapa asatidz tampak kewalahan mengatur anak-anak yang berkejaran ke sana kemari.
Di tengah keriuhan itu saya mendapati seorang ustadz dengan tubuh kurus duduk di atas kursi roda. Wajahnya yang teduh tak sekalipun menampakkan ekspresi kesal kepada anak-anak yang bertingkah. Justru senyum beberapa kali mengulas di bibirnya demi melihat tingkah polah khas anak-anak itu.
Saya memang suka dengan dunia anak-anak. Jika tidak ada mereka, saya malah merasa sedih. Kesepian ujarnya sambil sesekali membenahi sarung yang menutupi kaki kurusnya. Setu lempeng papan kayu ia gunakan untuk menahan jarak antar kedua kakinya agar tidak saling menumpuk. Jari-jari tangan yang tertekuk kaku dan kaki yang tak dapat digerakkan cukup membuat nafas saya tercekat. Iba dengan kehidupannya. Tak terbayangkan betapa kerasnya kecelakaan yang ia alami hingga merenggut separuh kebebasannya. Praktis, sehari-hari ia menghabiskan waktu di atas putaran kursi roda.
Untuk bisa melakukan aktivitas sehari-hari, seperti mandi, berpakaian, dan sebagainya, Ustadz Winarto harus dibantu oleh istri atau santrinya. Maha Besar Allah, yang telah menganugerahi hati yang begitu lembut dan ikhlas pada istri beliau. Tanpa pernah berkeluh kesah, sang istri senantiasa membopong Ustadz Winarto, tatkala hendak melakukan sesuatu hal.
Saya bersyukur telah dipilihkan istri yang begitu istimewa. Istri saya mendukung penuh dakwah yang saya lakukan. Luar biasanya lagi adalah, beliau bersedia membina keluarga bersama saya, kendati kondisi tubuh saya lumpuh, ujar Ustadz Winarto.
Kami berbincang tentang masa lalu. Seputar tragedi kecelakaan yang dialami beliau. Waktu itu, Ustadz Winarto hendak mengajar Al-Quran di Pasuruan. Dalam perjalanan antara Malang-Pasuruan, ia mengalami kecelakaan hebat. Luka parah yang menimpa tubuh kurusnya, membuat ustadz berkacamata ini harus menjalani rawat inap dan operasi di RS. Yang ajaib, salah satu dokter spesialis yang merawat beliau, berujar, Ini aneh. Biasanya, untuk kasus kecelakaan berat seperti ini, pasien kami langsung meninggal di tempat. Tapi, ustadz Winarto bisa bertahan hidup.
Subhanallah Maha Murah Allah, Maha Besar Allah, yang memberikan kesempatan hidup kedua pada beliau. Walaupun setelah musibah itu, Ustadz Winarto harus menelan pil pahit: organ tubuhnya lumpuh. Syarafnya di area perut ke bawah sudah tidak dapat berfungsi. Dalam setiap aktivitas, ia harus duduk di atas kursi roda.
Meski demikian, lagi-lagi Ustadz Winarto bisa memahamkan dirinya, bahwa musibah ini justru menguatkanghirah (semangat) untuk mengemban amanah dakwah. Yang saya yakini, Allah tentu punya maksud tertentu, mengapa Ia mengizinkan saya untuk tetap hidup. InsyaAllah, saya diberikan tambahan umur, karena Allah menugaskan saya agar tetap berjihad di ladang dakwah, ucapnya tenang. Satu hal yang saya syukuri pula, Alhamdulillah, yang lumpuh adalah tubuh bagian bawah. Saya tidak mengalami gegar otak, sehingga masih bisa mengajarkan Al-Quran.
Allahu Akbar.! Tubuh saya merinding dan bergetar hebat, demi memaknai untaian syukur yang terurai dari kalimat beliau. Hal yang tampak sangat buruk sekalipun, bisa menjadi sebuah ladang amal yang indah, asalkan dibingkai dalam rasa syukur yang mendalam. Apapun skenario Allah, senantiasa menjadi sarana untuk terus melantunkan syukur.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 216)
Bukan hanya dakwah lisan. Ustadz Winarto juga terinspirasi kalimat Ali bin Abi Tholib, Ikatlah ilmu dengan menulis. Puluhan artikel seputar keislaman ia lahirkan. Media massa besar kerap memuat opininya yang bernas dan tajam. Tak puas berbagi gagasan lewat media massa, beliau juga mengumpulkan artikel inspiratif, dan menerbitkan sebuah buku. Judulnya, sangat catchy, Kukuruyuk! Buku ini dikemas dengan gaya yang ringan, tapi berisikan kumpulan hikmah yang amat berisi. Tentang bagaimana menjalani hidup secara Islami. Tentang bagaimana kita mengisi hari, dengan beragam amal yang mendatangkan keberkahan dari Allah.
Putri Ustadz Winarto berlari-lari kecil di antara kami. Sesekali, ia memeluk ayahnya. Ayah yang berjiwa besar. Ayah yang mampu menerbitkan rasa bangga akan Islam. Bahwa siapapun yang menolong agama Allah, maka Allah akan mempermudah urusannya, baik di dunia maupun di akherat.
Hari itu, kota Malang terasa panas. Tapi, hati saya dingin dan nyaris membeku, demi mendengar kalimat penggugah jiwa dari Ustadz Winarto. Beliau mengajarkan kepada kami, bahwa sabar dan syukur adalah dua entitas signifikan, yang tak boleh lepas dari jiwa seorang muslim. Beliau menularkan sebuah nilai pada kami, bahwa sejatinya, hal baik dan hal buruk adalah semata-mata ujian dari Allah. Ujian keimanan untuk kita semua.
Bersyukur saya bisa belajar ilmu ikhlas pada keluarga kecil ini. Keluarga sederhana, yang senantiasa memancarkan semangat tak kunjung padam, untuk selalu menebarkan sikappositive thinking. Keluarga yang sekilas tampak biasa-biasa saja, namun penuh dengan suntikan inspirasi untuk membumikan dakwah di muka bumi. Kombinasi pasutri yang memegang teguh semangat untuk mencerdaskan anak bangsa.
Dan, di mata saya, keluarga Ustadz Winarto adalah sosok superhero yang sesungguhnya.(*)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis Dompet Dhuafa Everyone is Hero.
Reviewed by : Dian Mulyadi
Tulisan ini sudah melalui proses editing tanpa mengurangi substansinya, disadur dari http://bundasidqi.blogdetik.com/meski-tubuh-lumpuh-semangat-mengajar-tetap-tangguh/