Rendahnya edukasi dan literasi wakaf masih menjadi tantangan pengembangan wakaf di Indonesia. Akibatnya, sulit terjadi pergeseran paradigma masyarakat dalam memandang wakaf. Wakaf masih dipandang sebagai instrumen keuangan sosial Islam, ketimbang instrumen keuangan komersial Islam.
Padahal, wakaf memiliki dimensi sosial dan komersial sekaligus. Pada praktiknya, manakah yang perlu dikedepankan, wakaf sebagai instrumen keuangan sosial atau komersial? Inilah yang perlu dipahamkan kepada masyarakat.
Kondisi saat ini, karena paradigma masyarakat terhadap wakaf cenderung memandang wakaf sebagai instrumen keuangan sosial, maka praktik wakaf yang berkembang pun cenderung berdimensi sosial. Contoh yang sering disebut wakaf makam, masjid, dan madrasah.
Jangankan masyarakat umum, dalam berbagai kesempatan edukasi wakaf, para pegiat wakaf pun masih banyak yang belum memahami wakaf sebagai instrumen keuangan komersial Islam. Masih banyak yang belum paham apa hubungannya wakaf dengan investasi, sukuk, pasar modal syariah, dan instrumen keuangan kontemporer lainnya.
Baca juga: Hukum Wakaf Uang dan Manfaatnya Bagi Umat
Oleh karena itu, penting dilakukan edukasi kepada masyarakat terkait paradigma wakaf yang benar. Dalam konteks ini, wakaf adalah salah satu instrumen untuk membangun sektor ekonomi Islam, selain jual beli.
“…Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al-Baqarah: 275).
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah…” (QS. Al-Baqarah: 276).
Sedekah dan jual beli merupakan instrumen utama membangun ekonomi Islam agar terhindar dari praktik ekonomi ribawi. Dalam perspektif Islam, wakaf berada pada semesta sedekah. Sedekah ada yang wajib, yakni zakat (lihat QS. At-Taubah9: 103).
Sedekah yang sunah, itulah infak dan wakaf. Bedanya, infak merupakan sedekah terputus. Sementara, wakaf merupakan sedekah mengalir. Inilah poin kelebihan wakaf. Pokok wakaf yang mesti dipertahankan memberikan garansi kesinambungan manfaat wakaf (habatsta ashlaha wa tashadaqta biha).
Karena pokok wakaf harus tetap dan sinambung menghasilkan surplus wakaf, itu artinya nature wakaf bersifat produktif, atau dalam bahasa ekonomi, komersial. Itulah kenapa wakaf disebut instrumen keuangan komersial Islam. Kemudian, surplus wakaf disalurkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan sosial, seperti masjid, rumah tahfizh, madrasah, dan rumah sakit. Inilah dimensi sosial wakaf.
Dengan demikian, pada praktiknya, sisi produktifitas atau komersialisasi aset wakaflah yang mesti dikedepankan. Sementara, dimensi sosial wakaf merupakan dampak dari adanya produktifitas aset wakaf. Artinya, saat nazir menerima prospek aset wakaf, maka pola pikir (mindset) yang perlu diatur adalah apakah aset wakaf tersebut bernilai komersial atau tidak?
Baca juga: Seraya Investasi, Dompet Dhuafa dan BEI Ajak Masyarakat Ciptakan Manfaat Abadi dengan Wakaf
Bukan berarti tidak boleh menerima atau mengembangkan aset wakaf sosial, tentu saja boleh. Hanya, nazir perlu berpikir setelah aset wakaf sosial itu diterima atau berdiri, dari mana revenue stream untuk membiayai aset wakaf sosial tersebut?
Contoh di lapangan, pada aset tanah wakaf, tidak sedikit nazir yang membangun masjid terlebih dahulu ketimbang unit usaha produktif. Biasanya hal ini terkait dengan permintaan wakif. Setelah masjid berdiri, pertanyaannya dari mana biaya perawatannya?
Belum lagi standar masjid yang dibangun biasanya megah, sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tidak sedikit. Belum lagi jika kasusnya sudah ada masjid masyarakat sekitar yang berdiri lebih dulu. Akhirnya, masjid yang dibangun dipandang sebagai mercusuar, bukan fungsional untuk ibadah serta pembinaan santri dan masyarakat.
Semestinya, unit usaha produktif lebih dulu yang dibangun agar mendatangkan revenue stream. Baru kemudian membangun pesantren dan masjid di aset tanah wakaf tersebut. Sehingga, ada kontribusi surplus wakaf unit usaha produktif untuk membiayai kegiatan pendidikan dan dakwah selain dari kontribusi sumbangan pendidikan santri.
Sementara itu, pada sisi masyarakat yang ingin berwakaf, sebaiknya juga mewakafkan harta produktifnya. Misalnya, ruko yang bisa disewakan, saham yang menghasilkan dividen, atau berwakaf uang. Inilah praktik yang diteladankan oleh para sahabat dalam berwakaf.
Baca juga: Teladan Ibu untuk Keluarga, Dompet Dhuafa Hadirkan Wakaf Untuk Ibu
Sebagai contoh, Zaid bin Sahl, yang populer dengan sebutan Abu Thalhah, mewakafkan aset terbaik yang dimilikinya. Ia mewakafkan kebun Bairuha yang letaknya sangat strategis, tidak jauh dari Masjid Nabawi. Kebun Bairuha adalah kebun kurma yang paling dicintai dan dibanggakan Abu Thalhah karena menghasilkan panen memuaskan. Demikian pula dengan sayidina Umar bin Khatthab yang mewakafkan kebun kurma terbaiknya di Khaibar untuk kemaslahatan umat Islam.
Pada perkembangannya sekarang, dengan dibolehkannya wakaf uang selain wakaf melalui uang, maka model pengembangan wakaf menjadi semakin bervariatif. Dalam konteks ini, kolaborasi dengan berbagai instrumen keuangan Islam kontemporer, semisal sukuk wakaf dan pasar modal syariah, menjadi suatu kebutuhan untuk mengakselerasi pengembangan wakaf.
Karena itu, tugas penting Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan lembaga wakaf adalah mengenalkan berbagai model pengembangan wakaf uang melalui berbagai instrumen keuangan syariah kontemporer, sehingga masyarakat makin teredukasi dan terjadi pergeseran paradigma wakaf.
Ditulis oleh Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Praktisi Lembaga Pengembangan dan Investasi Wakaf Dompet Dhuafa)