JAKARTA — Tentu banyak yang langsung percaya ketika disebutkan bahwa BJ Habibie, memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tertinggi di dunia. Dengan segala karya dan terobosannya, dengan mudah klaim itu diamini. Namun, wartawan senior Parni Hadi menceritakan bahwa Presiden ketiga Republik Indonesia tersebut, tidak pernah peduli dengan tingkat IQ-nya sendiri.
“Saya pikir, beliau itu super cerdas atau genius. Tapi ketika diberitakan ia memiliki IQ tertinggi di dunia, Mas Rudy tampak tidak peduli. ‘Orang bilang apa saja terserah, yang jelas saya tidak pernah diukur IQ saya untuk itu’,” kata Parni Hadi, di Jakarta, Rabu (11/9/2019), saat menceritakan kenangannya bersama BJ Habibie.
Parni Hadi merupakan satu dari segelintir wartawan yang dekat dengan Habibie, putra terbaik bangsa yang tutup usia pada Rabu (11/9/2019) petang. Parni terbiasa menyapa Habibie dengan sebutan Mas Rudy.
“Banyak sekali kenangan pribadi saya dengan almarhum Mas Rudy, sejak kenal pada 1977 sebagai wartawan Antara. Beliau yang menugasi saya memimpin Republika 1993, memimpin LKBN Antara 1998,” jelas wartawan yang bergabung di Kantor Berita ANTARA sejak 1973 itu.
Bagi Parni Hadi, Habibie adalah Bapak Kebebasan Pers Indonesia, Bapak Reformasi dan Bapak Demokrasi. Tentu di samping peran intinya sebagai Bapak Teknologi Indonesia.
“Pers, reformasi dan demokrasi adalah satu kesatuan,” kata Parni Hadi.
Habibie dikenang sebagai sangat peduli dan berdedikasi tinggi untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia yang menguasai teknologi canggih. Tapi, kata Parni, Habibie lebih memilih orang yang berkarakter baik daripada orang pintar saja. Sebagai insinyur kelas wahid dengan sejumlah hak paten produk hi-tech, Habibie di mata Parni merupakan orang yang sangat rasional, tidak berbelit-belit, to the point, dan demokratis. Parni Hadi pun tak kuasa menahan dukanya saat menghadiri langsung pemakaman Mas Rudy.
“Karena super cerdas, beliau juga ingin semuanya super cepat dan temperamennya tinggi. Tapi hatinya gampang tersentuh dengan soal kemanusiaan dan karya seni yang bermutu tinggi dan multidimensi,” tambahnya.
Ia pun menimpali, “Kalau tidak setuju, beliau langsung bilang. Kesannya keras, galak, tapi gampang memaafkan alias mudah lupa kalau sebelumnya ia mengesankan marah”.
Kelahiran Dompet Dhuafa, menurut Parni Hadi, tak terpisahkan atas hubungan dekat dirinya dengan Habibie.
“Ia menunjuk saya sebagai Pemred Republika. Sekitar enam bulan setelah Republika terbit, muncul gagasan di otak saya untuk mendirikan Dompet Dhuafa,” katanya.
Republika lahir karena Soeharto memberi izin kepada Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin Habibie, untuk mendirikan koran.
“Pada saat itu Mas Rudy tunjuk saya untuk pimpin Republika, dan dari rahim koran tersebut Dompet Dhuafa muncul, menasional, dan mengglobal untuk berbagi cinta kepada sesama,” tegasnya.
Jadi, menurut Parni Hadi, Dompet Dhuafa berutang budi kepada banyak orang, terutama para donator sejak sebelum kelahirannya 2 juli 1993. Menjaga amanah donatur untuk berbagi cinta kepada sesama harus terus terjaga. Terlebih saat 2016 juga menerima anugerah Ramon Magsaysay di Manila, Filipina, karena dinilai berjasa untuk aksi kemanusiaan global.
“Selamat jalan Mas Rudy, you are my mentor, senior brother and fasilitator, auf wiedersehen. Dein Parni,’’ tutup Parni Hadi. (Dompet Dhuafa/Parni Hadi/IST)