JAKARTA — Di samping ada pendidikan formal, ada pula pendidikan informal dan nonformal. Berbeda dengan ketiganya, Dompet Dhuafa memiliki konsep pendidikan lain yang mengedepankan pemberdayaan dan pengembangan kawasan sesuai dengan kearifan lokal setempat. Lembaga Pengembangan Insani (LPI) Dompet Dhuafa menyebutnya pendidikan fungsional.
Konsep ini bahkan sudah sejak lama dijalankan oleh Dompet Dhuafa. Pada pelaksanaan setiap program pendidikan, Dompet Dhuafa terus menyesuaikan visinya, yaitu mewujudkan masyarakat yang berdaya. Sehingga setiap kegiatannya pun selalu mengarah pada konsep pemberdayaan dalam bidang pendidikan.
Pada praktiknya, LPI berusaha menjawab isu-isu strategis dengan membangun ekosistem pendidikan yang berorientasi pada pendidikan fungsional. Hal ini dijelaskan oleh Agung Pardini selaku SO Pengembangan Program Pendidikan Dompet Dhuafa, di Gedung Philanthropy, Jakarta Selatan, pada Jumat (17/1/2022). Dampaknya, masyarakat setempat dapat dengan mudah menerima kurikulum yang ditawarkan, sebab hal itu sudah sesuai dengan kultur yang selama ini ada. Bahkan, tokoh masyarakat atau tenaga pendidik setempat dapat mengembangkannya agar lebih sesuai dan lebih mudah dipahami oleh para peserta didik.
“Anak bersekolah belum tentu belajar. Banyak yang mengira anaknya masuk sekolah berarti sudah berpendidikan. Nyatanya tidak. Pendidikan tidak sama dengan persekolahan. Sekolah tidak sama dengan belajar. Kurikulum belum tentu sesuai dengan kearifan lokal setiap daerah,” jelas Guru Agung.
Senapas dengan Guru Agung, Dr. Dirgantara Wicaksono menanggapi konsep pendidikan fungsional ini. Pakar pendidikan nasional tersebut menyampaikan bahwa dirinya juga memiliki komunitas pengabdian masyarakat untuk memajukan pendidikan Indonesia, yaitu Backpacker Teaching Indonesia.
Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta itu menjelaskan, konsep pendidikan fungsional gagasan Dompet Dhuafa ini mirip dengan apa yang dijalankan oleh Backpacker Teaching selama ini. BT setiap aksi dan kegiatannya di daerah-daerah pelosok selalu menggunakan kearifan lokal. Pihak yang paling utama untuk dikuatkan dari segi kualitasnya adalah tokoh, guru, dan para stakeholder setempat. Termasuk di dalamnya adalah pemuda-pemuda yang aktif dan giat mengembangkan potensi daerah setempat.
Backpacker Teaching biasanya berkegiatan pengabdian selama 2 minggu. Mungkin itu adalah waktu yang singkat, namun dengan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat setempat, alhamdulillah, di masing-masing daerah yang dimasuki dapat meninggalkan dampak yang cukup besar di masyarakat, khususnya dalam hal pendidikan dan minat belajar.
“Circle yang sudah dibangun ini saya rasa bisa terus dikuatkan dan ditingkatkan. Ini menjadi sebuah program calon pemimpin-pemimpin bangsa. Karena memang yang dibutuhkan saat ini adalah percepatan dari pusat, pendampingan secara singkat cepat dan bermanfaat bagi masyarakat setempat,” cetusnya.
Perlu diingat bahwa saat relawan datang ke suatu tempat, mereka bukanlah pahlawan, bukanlah raja. Mereka datang membawa donasi itu bukan berarti adalah pembawa perubahan, yang ada justru menciptakan kader peminta-minta setelah itu.
Baca juga: SLI Perkuat Kolaborasi dengan Dinas Pendidikan di 11 Wilayah
“Yang menjadi poin utama adalah essential mindedness-nya. Yaitu bagaimana di anak-anak ini tercipta culture of hope. Bagaimana the power of dream mereka terbangun. Maka yang harus kita ciptakan adalah mimpi dan semangat dalam diri mereka untuk bisa menaklukkan dunia,” imbuhnya.
LPI Dompet Dhuafa dan Backpacker Teaching terus berupaya berkontribusi dalam hal membantu mewujudkan pendidikan yang merata di Indonesia mencakup infrastruktur dan SDM yang ada. (Dompet Dhuafa/Muthohar)