JAKARTA – Persentase penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2019 sebesar 9,41%, menurun 0,25% poin terhadap September 2018 dan menurun 0,41% poin terhadap Maret 2018. Sedangkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang, menurun 0,53 juta orang terhadap September 2018 dan menurun 0,80 juta orang terhadap Maret 2018.
DR. Hendri Saparini (Founder dan Ekonom CORE Indonesia) dalam paparan materinya yang berjudul “Mengelola Orang Miskin Indonesia 5 Tahun ke Depan,” menunjukkan kondisi kemiskinan di Indonesia masih terbilang tinggi. Dalam Worldbank (2018) kemiskinan ekstrim Indonesia (2015) itu sebesar 35,9%. Sedikit lebih baik dari Laos (36%) dan Kamboja (49,6%). Sedangkan ASEAN Key Figures (2019), menunjukan kemiskinan Indonesia masih lebih tinggi dibanding beberapa negara ASEAN yakni sebesar 5,3% (2018). Hal tersebut menunjukan adanya penurunan jika dibandingkan dengan 2017 dan 2005 yakni sebesar 10,6% dan 16%. Namun penurunan tingkat kemiskinan Indonesia di periode 2010-2016 hanya turun 2%. Rata setahun hanya 0,33%. Indonesia harus menghadapi 64,28 juta jiwa yang rentan miskin dan hampir miskin.
“Permasalahan kemiksinan itu kompleks. Mereka yang berada di garis kemiskinan, knowledge saja terbatas. Tidak punya kemampuan manajemen. Tidak punya teknologi. Tidak punya modal dan macam-macam. Maka dari itu kalau mau membantu mereka, harus komprehensif,” ujarnya ketika ditemui dalam “Indonesia Poverty Outlook 2020” di Auditorium Adhiyana Wisma Antara, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).
Pihak pemerintah dan pihak swasta harus baur-membaur dalam mengentaskan kemiskinan. Tidak bisa sendiri-sendiri. Salah satunya ialah kolaborasi antara pihak pemerintah dengan lembaga filantropi.
“Kalau negara maju. Filantropis (secara kelembagaan) dan value-nya banyak. Namun kalau di kita (filantropi) menjadi kekuatan besar karena semangat. Tetapi kalau dari segi value kita masih sangat terbatas. Apakah hal ini perlu didorong? Perlu. Karena berperan mendukung pemerintah. Bukan pemerintah yang mengandalkan filantropis,” tambahnya.
Salah satu dukungan filantropis yang memainkan peran penting dalam mengentaskan kemiskinan adalah dengan memberikan program-program pemberdayaan. Terutama yang berjangka panjang.
“Pemberdayaan memunculkan star-up dan produk-produk yang inovatif. Harus ada perkembangan. Jadi bukan hanya mengurusi kebutuhan-kebutuhan pokok saja,” tambahnya.
Dengan mengacu UUD 45 Pasal 9 ayat 1, dan Pasal 33, serta Pasal 27 ayat 2. Negara diamanahkan untuk mengatur pasar agar dapat menciptakan pekerjaan bagi warga negaranya.
“Jadi PR kita adalah bagaimana strategi dan kebijakan yang dilakukan harus ditujukan untuk ‘Pengentasan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejateraan’ bukan sekadar mengurangi angka kemiskinan (jumlah orang yang pengeluarannya di bawah garis kemiskinan). Tetapi melakukan lompatan peningkatan pendapatan masyarakat miskin,” ungkapnya.
Ia juga melanjutkan, ”Intinya adalah kita mengentaskan kemiksinan itu tidak hanya membuat mereka keluar dari garis kemiskinan. Tetapi bagaimana mereka segera di-empowerment untuk bisa meningkatkan pendapatannya sendiri”. (Dompet Dhuafa/Fajar)