BANDUNG — Kapten Caj. (K) S. M. Mega Aryanti (33), Perwakilan Pasukan Perdamaian PBB dari Indonesia, berbagi kisah tentang peran perempuan Indonesia yang membangun perdamaian di luar negeri, bahkan daerah konflik. Hal tersebut ia paparkan dalam talkshow dengan konsep bincang santai pada sesi diskusi pertama dalam gelaran ‘Youth For Peace’ Dompet Dhuafa bertajuk ‘Yo Meet Up!: Women in Peace Building, Innovation for Change’ di Lo.Ka.Si. Co-Working Space Dago, Kota Bandung, Rabu (24/4/2019).
“Dikirim di wilayah perbatasan sangat berbeda. Konflik tidak terlihat, namun bisa kapan saja terjadi. Bahkan penyulut kecil seperti melempar batu, dapat memancing sebuah tank keluar dari kandangnya,” papar Kapten Mega.
Perempuan kelahiran Jawa Tengah tersebut, mengakui sangat bersyukur dan beruntung tinggal di Indonesia. Pasalnya sebagai perempuan, ia merasa di Indonesia lebih dihargai dari segi tanggung jawab pekerjaannya. Ia memberi perspektif membangun perdamaian dari segi militer. Namun, kebanggaan tersendiri melalui pekerjaan itu, ia dapat membantu orang di negara lain, terutama di wilayah konflik.
Kilas balik bahwa Kapten Mega tidak memiliki minat bergabung dalam dunia militer. Namun di akhir kuliahnya medio 2007, ia mendapatkan beasiswa untuk menjadi Perwira Tentara Indonesia. Dua tahun kemudian, ia lulus dari pelatihan militer perwira dan ditugaskan sebagai Kepala Kantor Sekretariat di bawah Pusat Pelatihan TRADOC Angkatan Darat Indonesia. Mekar gairah mengajar di militer, hingga pada 2014, Kapten Mega ditunjuk menjadi salah satu Agen Penjaga Perdamaian Wanita yang ditugaskan ke Libanon sebagai Pejabat CIMIC Batalyon.
“Bertugas disana (Libanon), lebih kepada tentang pengembangan diri. Mengawasi kawasan tertentu, terutama membangun kepercayaan pada masyarakat,” aku Kapten Mega.
“Seringkali, saya yang meminta ikut berpatroli. Menggunakan helikopter atau tank, agar saya bisa turun ke lapangan untuk interaksi langsung dalam kegiatan bakti sosial, kajian dakwah, atau layanan medis. Di situlah kesempatan besar kita membangun dan mendekatkan misi pada interaksi lokal sembari patroli,” lanjutnya.
Selama bertugas setahun di Libanon, ia menjelaskan beberapa kegiatan selama bertugas. Hari libur atau cuti pasti ada, namun tetap stand by 24 jam jika kondisi darurat terjadi. Tentunya Kapten Mega juga mendapat tugas memasak di dapur umur.
“Tidak hanya itu, perempuan dari kontingen kita itu multitasking, masak dan patroli. Tugas yang mungkin belum pernah terpikir oleh orang lain adalah menjaga main gate. Berdiri tidak tidur, stand by selama 24 jam,” jelasnya.
Penempatannya ke daerah pasca konflik, telah membawanya ke dalam semangat pemahaman dan berbagi pesan perdamaian melalui keanekaragaman. Ia menemukan banyak anak dan perempuan yang membutuhkan pemberdayaan. Tentunya untuk memulihkan psikologi mereka setelah konflik.
Sependapat dengan Kapten Mega, Haryo Mojopahit, selaku General Manager Advokasi dan Aliansi Strategis Dompet Dhuafa, bahwa masih banyak perempuan di dunia, terutama di kawasan konflik, yang juga mengalami kesulitan dalam mengakses hak-hak dasarnya. Melihat hal tersebut, peran perempuan dalam berinovasi dan membuat keputusan bukan hanya menjadi perhatian utama dalam upaya pemberdayaan perempuan masa kini.
“Salah satu penyebab kemiskinan adalah perang. Peran perempuan juga dapat diperluas hingga menjadi agen perdamaian demi terjaminnya inovasi-inovasi yang tercipta, dapat terimplementasi dengan baik di seluruh penjuru dunia,” papar Haryo Mojopahit.
Tiga pemateri lainnya adalah Rezzy Nizawati (Diplomat Kemenlu Indonesia), Mursida Rambe (Founder BMT Beringharjo), dan Laurentia Mellynda (Head of Business Development NamWest), yang turut memeriahkan diskusi terkait peran perempuan dalam inovasi pemberdayaan ekonomi.
Di akhir sesi, Kapten Mega berpesan, “Jangan lupakan potret kita sebagai wanita. Namun melalui karir, kita juga dapat membahagiakan keluarga dan orang lain. Menjadi tentara adalah motivasi hidup untuk masyarakat dan kontribusi kepada negara, bahkan dunia”. (Dompet Dhuafa/Dhika Prabowo)