Perjalanan Dai Ambassador di Kota Baucau, Kota Besar di Timur Dili yang Tak Lupa Sentuhan Islam dari Indonesia

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Timor Leste

DILI, TIMOR LESTE — Selama seminggu mengikuti berbagai informasi dari masyarakat Kota Baucau, Ustaz Dede Permana, Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Timor Leste, mengambil banyak hikmah dari perjuangan umat Islam di sana. Beragam lapisan masyarakat yang ditemuinya memberikan informasi-informasi berharga dan sangat menarik untuk dipelajari. Mulai dari pedagang sayur hingga pedagang pakaian di pasar, pengurus dan jemaah Masjid Al-Amal Baucau, guru di sekolah umum, pekerja bangunan, anak-anak sekolah, hingga Ketua Pengurus Concelho National Islamico De Timor Leste (Conistil), sebuah organisasi Islam besar di Kota Baucau yang setara dengan MUI.

Apabila dijelaskan apakah Islam sudah ada di Timor Leste sejak zaman sebelum integrasi kepada Indonesia di penghujung tahun 1975? Jawabannya sangat mudah. Islam sudah ada di Timor Leste, bahkan sebelum tahun 1512, sebelum Alfonso de Albuquerque dari Portugis mendaratkan tiga armada lautnya di daratan Bumi Lorosae. Sebelum masuknya penjajah Portugis, Kerajaan Malaka telah memberikan pengaruh baik dengan membawa raja-raja lokal (Luirai) di negeri tersebut.

Dari sisi sosial ekonomi, banyak saudara muslim dari Makassar, Arab, maupun Alor yang sudah berbaur dengan penduduk lokal dan berinfiltrasi di dalam kegiatan hariannya. Namun setelah Portugis datang, kegiatan keislaman sangat dibatasi dengan hanya berpusat di sekitar Masjid An-Nur di Kampung Alor, Dili. Hingga kini, terdapat beberapa keluarga Arab muslim yang masih bertahan di Timor Leste, di antaranya adalah Al-Katiri dan Sagran.

Baca juga: Berdakwah di Masjid Al Hamud Liquica Timor Leste, Dai Ambassador dapat Sambutan Hangat Warga

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Timor Leste

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Timor Leste

Setelah Portugis meninggalkan Timor Leste pada 1974, masyarakat Timor Leste dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah mereka ingin merdeka menjadi negara yang mandiri, atau ingin berintegrasi dengan suatu negara untuk dapat saling mengambil dan memberikan manfaat? Setelah pergolakan politik yang cukup rumit, ketua dari empat partai—Partai Apodeti, UDT, KOTA, dan Trabalista—yang semua pemimpinnya beragama Katolik menandatangani persetujuan untuk berintegrasi dengan Indonesia. Keputusan ini menyelisihi sikap satu partai, yakni Partai Fretilin, yang ingin merdeka di atas kaki sendiri.

Berdasarkan permintaan dari masyarakat lokal yang ingin berintegrasi, akhirnya Indonesia memutuskan untuk masuk dan membangun wilayah eks jajahan Portugis di Pulau Timor bagian Timur, yang dikenal lebih akrab dengan nama Timor Timur. Tentu saja, dalam pembangunannya, pemerintah Indonesia masih membutuhkan banyak personel ABRI—kini TNI-Polri—karena akan berhadapan dengan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang dipelopori oleh milisi penduduk pribumi yang telah memiliki senjata yang diambil dari tentara Portugis.

Tentara Indonesia yang berada di Timor Timur menjalankan tugasnya sehari-hari dengan tetap berusaha mengikuti ajaran agamanya. Tentara yang muslim melaksanakan salat berjemaah, yang Kristen mengikuti kebaktian di Gereja, dan tentara yang beragama Hindu membuat bangunan simbol Pura di rumah yang dibelinya di dekat Masjid Al-Amal Baucau, dan bisa dilihat bekas bangunan tersebut sampai sekarang. Masyarakat pribumi Timor Leste dipersilakan mengikuti ajaran agama manapun yang diinginkan, bahkan jika masih bertahan pada agama dinamismenya, tidak akan dipermasalahkan.

Baca juga: Perkuat Silaturahmi, Dai Ambassador Dompet Dhuafa Penugasan Timor Leste Kunjungi KBRI Dili

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Timor Leste

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Timor Leste

Masyarakat Timor Timur yang masih belum mengerti agama, sebagian tertarik untuk masuk Islam setelah melihat perlakuan tentara Indonesia yang mayoritas muslim cenderung lebih sopan daripada tentara Portugis. Pasalnya, tentara Indonesia diakui oleh masyarakat kecil cenderung lebih manusiawi, memikirkan pendidikan masyarakat di pelosok gunung sekalipun. Sering ada razia dari tentara Indonesia ke rumah-rumah, apabila ada anak kecil di usia wajib belajar namun dia tidak pergi sekolah, maka orang tuanya akan ditegur.

Tentara Indonesia lebih menjaga hak milik individu dibandingkan tentara Portugis. Di zaman sebelum berintegrasi dengan Indonesia, ketika melewati suatu jalan yang terdapat hewan ternak milik penduduk lokal, tentara Portugis sering kali merampas hewan itu begitu saja, tanpa menanyakan terlebih dahulu tentang siapa pemiliknya. Hal ini berbeda dengan tentara Indonesia yang tidak asal mengambil hewan ternak milik warga dan justru ingin menjaga satwa-satwa yang dikembangbiakkan oleh warga. Apabila ingin mengonsumsinya, maka tentara membelinya kepada yang punya terlebih dahulu. Hal ini memberikan daya tarik yang tidak kecil. Ditambah, jika ada penduduk sekitar yang ingin masuk Islam, ia akan diberikan satu baju, sarung, dan peci.

Saat masih berada di bawah penjajahan Portugal, masyarakat Timor Portugis belum mengerti kegunaan daun singkong dan pisang. Setelah berbaur dengan pendatang dari Jawa, Sumatra, dan lainnya, mereka baru mengetahui kegunaannya. Tak sampai di situ, ada banyak hal lain yang juga diketahui oleh masyarakat lokal setelah bertukar pengalaman dengan warga Indonesia. Pertukaran pengalaman ini kemudian berlanjut hingga kini, pada skala yang lebih besar, yakni persoalan sistem tata kelola kota, sistem listrik, hingga sistem kepolisian.

Baca juga: Dai Ambassador Berangkat Misi Dakwah ke 16 Negara Selama Ramadan 1445 H

Pasca Referendum di tahun 1999, keadaan Timor Leste menjadi tidak stabil karena penduduk lokal saling berbeda pendapat dan adu kekuatan antara dua kubu, baik yang pro integrasi dengan Indonesia maupun yang pro kemerdekaan. Terlebih setelah pulangnya semua kompi angkatan bersenjata RI ke baraknya di Tanah Air. Keadaan tersebut menjalar ke pembakaran di berbagai sektor fasilitas sarana pemerintahan dan juga rumah ibadah, khususnya rumah ibadah umat Islam.

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Timor Leste

Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Timor Leste

Kota Baucau menjadi saksi sejarah saat Masjid Al-Amal dibakar oleh massa yang mengamuk terhadap simbol Islam pada Maret 2002. Segala upaya konstitusional dilakukan oleh pengurus Masjid Al-Amal, khususnya oleh Umar Said, orang pribumi Baucau yang pernah mengenyam pendidikan di IAIN Bandung. Upaya konstitusional menuntut pemulihan fisik masjid membuahkan hasil, hingga pada Juni 2002 pembangunan kembali Masjid Al-Amal berhasil dimulai. Sebelum Idulfitri 2002, pembangunan masjid tersebut sudah selesai dan siap untuk dipakai saat Lebaran. Hingga kini, masjid tersebut masih berdiri kokoh menaungi kebutuhan peribadatan umat Islam, juga berbagai kegiatan sosial pendidikan untuk peningkatan kualitas SDM umatnya.

Masyarakat Timor Timur banyak yang bisa berbahasa Indonesia karena interaksi mereka dengan tentara, guru inpres, pegawai negeri pusat yang ditempatkan di Timor Timur, hingga kebijakan kurikulum sekolah yang mewajibkan belajar bahasa Indonesia. Meski kini sudah berpisah dengan NKRI, namun masyarakat Timor Portugis kelahiran sebelum tahun 2000 masih fasih berbahasa Indonesia, dan anak-anak yang lahir tahun 2000 ke atas juga paham, minimal pasif, saat diajak bicara bahasa Indonesia. Akses siaran televisi dan sosial media berbahasa Indonesia juga sangat lumrah digunakan oleh Timor Leste, karena konstitusinya menyantumkan penggunaan bahasa lokal (Bahasa Tetun dan Portugis) sebagai bahasa resmi negara, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kerja.

Pesan dari masyarakat Timor Leste untuk Indonesia adalah agar Indonesia tidak meninggalkan Timor Leste. Timor Leste ingin dianggap sebagai adik dari kakak dewasanya, Indonesia. Umat Islam di negeri ini juga masih membutuhkan uluran tangan dari masyarakat muslim Indonesia agar sering-sering mengirimkan ustaz dan pengajarnya, sehingga Islam di Timor Leste dapat berkembang lebih baik.

Baucau, 7 April 2024
Ustaz Dede Permana, Dai Ambassador Dompet Dhuafa 2024