JAKARTA — Belum lama ini jaringan filantropi islam asal Thailand yang bernama The Central Islamic Council of Thailand (CICOT) bertandang ke Kantor Pusat Dompet Dhuafa di Jakarta Selatan, pada Rabu (24/7/2019). Kunjungan tersebut untuk bersilahturahmi dan bertukar pikiran terkait dunia kemanusiaan. Mengingat Dompet Dhuafa ataupun CICOT memang sama-sama lembaga pegiat kemanusiaan.
“(Mereka itu) Silahturahmi. Karena dilihat dari tujuan-tujuan kunjungan mereka yang lain, kebanyakan lembaga-lembaga islam yang kuat di filantropi,” ujar Haryo Mojopahit, selaku General Manajer Advokasi dan Aliansi Strategis Dompet Dhuafa.
CICOT sendiri merupakan lembaga yang berperan untuk mengayomi umat Islam di Thailand. Dengan cara membantu pemerintah dan masyarakat sipil dalam hal yang menyangkut kemaslahatan umat islam. Pemimpin dari CICOT sendiri disebut dengan Sheikhul-Islam—yang dipilih langsung oleh Raja. Sehingga Dompet Dhuafa sudah tidak familiar dengan lembaga islam yang berada di Thailand.
“Kita juga punya hubungan baik dengan Sheikhul-Islam,” lanjut Haryo.
Turut hadir dari perwakilan CICOT sendiri antara lain Dr. Wisoot Bilateh (Chairman of Education Division) dan Asist.Prof.Dr.Muhammad Ilyas Yahprang (Lecturer and Member of Ramkhambang University). Mereka bercerita kalau pengelolaan zakat di Thailand sendiri masih bersifat tradisional, yakni menyalurkan zakatnya ke keluarga atau orang-orang terdekatnya. Sehingga pengumpulan zakat secara masif dan kemudian diejawantahkan dalam bentuk program-program merupakan hal yang cukup menarik di Thailand sendiri.
“Jadi mereka berharap, mengundang kami menjadi pembicara di sana untuk memberikan pemahaman ini kepada orang islam di sana. Mengubah cara pandang tentang zakat,” tambah Rama, selaku Supervisor Advokasi dan Aliansi Strategis Dompet Dhuafa.
Dompet Dhuafa juga pernah berada di posisi yang sama. Di mana pengelolaan masih bersifat tradisional. Namun lambat laun perlahan-lahan berkembang. Hingga sekarang pengelolaan zakat Dompet Dhuafa sudah memasuki ranah digital.
“Karena pengelolaan zakatnya yang masih seperti itu. Membuat LSM di sana kurang maksimal dalam pengelolaan finansialnya. Karena ini juga kita pernah menjalankan program di Thailand Selatan sekitar tahun 2015 atau 2016. Salah satu program tersebut adalah capacity building. Ada dua aspek yang menjadi fokus program ini, yakni pelatihan kemampuan jurnalisme dan Berbahasa Inggris. Kedua, kemampuan untuk fundraising. Sehingga menurut kami, sebenarnya Thailand itu tertinggal dua step di belakang dari Dompet Dhuafa. Awalnya Dompet Dhuafa memang tradisional, lalu bersifat kelembagaan, kemudian sekarang lebih ke digital. Dengan demikian yang perlu dilakukan Thailand sekarang ini, harus mentransformasi satu level dulu dari tradisional ke lembaga. Jadi penguatan dari sisi kelembagaan zakat,” tutup Rama. (Dompet Dhuafa/Fajar)