JAKARTA — Kali ini, Dompet Dhuafa melalui lembaga riset Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) mengadakan diskusi mengenai ekonomi mudik. Di dalamnya adalah pembahasan mengenai estimasi dan proyeksi dari tren jumlah pemudik, daerah asal pemudik terbesar, serta kalkulasi dari aktivitas ekonomi menjelang mudik.
Selama kurun waktu 2005 – 2016, tren mudik menunjukkan kenaikan, dari 24,2 juta pada tahun 2005 menjadi 32,2 juta penduduk pada 2016. Dari manakah asal para pemudik ini? Berdasarkan simulasi, 15 juta pemudik berasal dari Jabodetabek, 2,1 juta dari Gerbang Kertasusila, 1,6 juta dari Bandung. Sisanya yang berkisar antara 1 juta pemudik berasal dari Pulau Sumatera dan kurang dari 1 juta tersebar di wilayah lain.
Lalu bagaimana dengan peta daerah tujuan para kaum migran ini? Sebanyak 18,459 juta pemudik atau sekitar 57% akan kembali ke Pulau Jawa. Hal ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Perspektif Baru Fenomena Mudik Indonesia” yang digelar IDEAS, Ahad (3/7) di Terminal Rawamangun, Jakarta. Hadir sebagai narasumber Direktur IDEAS, Yusuf Wibisono, Kepala Dinas Perhubungan DKI, Andri Yansyah, dan Head Of Network News Kompas TV, Bimo Cahyo, serta manager respon Disaster Management Center (DMC), Fadillah Rachman.
Dalam diskusi publik tersebut juga terungkap data lain yang tak kalah menarik. Yakni jumlah remitansi yang dibawa oleh pemudik. Diperkirakan, pada tahun 2016 dana sebesar Rp 60,594,402,345,344 atau 60 Triliun lebih akan mengalir ke daerah asal. Sedangkan total peredaran uang saat mudik tahun ini diestimasi akan mencapai Rp. 184,994,827,104,247 atau 184 Trilun lebih. Hasil ini didapat dengan menghitung perputaran uang dari 20 wilayah aglomerasi di Indonesia.
Berdasarkan perhitungan data di atas, maka potensi ekonomi yang dapat dikembangkan dari aktivitas mudik ini cukup besar. Yakni bagaimana penyerapan dana dari pemudik bisa menjadi stimulus bagi ekonomi lokal. Namun beberapa hal perlu dicermati, yaitu pemanfaatan potensi mudik untuk sektor- sektor produktif bukan konsumtif. Kemudian mendorong masyarakat untuk melakukan transaksi ekonomi melalui sektor formal (perbankan) dengan mekanisme transfer. Selanjutnya adalah penguatan lembaga – lembaga lokal serta kesiapan pemerintah lokal dalam memfasilitasi pelaku ekonomi lokal agar mampu merespon demand dari para pemudik.
Mudik memang tidak bisa dilihat hanya sebagai ritual tahunan saja. Namun merupakan sebuah refleksi dari kondisi makro Indonesia, yakni ketimpangan regional. Pulau Jawa terutama Jakarta menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang menjadi daya tarik para kaum migran. Maka tidak mengherankan jika laju urbanisasi di Indonesia merupakan salah satu yang tercepat di dunia, yakni 4 persen per tahun. Pada tahun 2025, 68 persen dari seluruh penduduk Indonesia diperkirakan akan hidup di daerah perkotaan (World Bank, 2014). Pulau Jawa pun menjadi overpopulated karena dengan luas hanya 7% dari total wilayah Indonesia, Jawa menampung 57% penduduk (IDEAS, 2016).
Beberapa literatur terutama dari perspektif strukturalis memandang kondisi kemiskinan di daerah rural atau asal adalah salah satu pendorong terkuat migrasi. Maka pembangunan wilayah pedesaan akan menjadi salah satu upaya untuk pemerataan pembangunan dan produktivitas masyarakat rural. Sehingga disparitas antarwilayah akan berkurang dan derajat hidup masyarakat pedesaan terangkat. (Dompet Dhuafa/Taufan YN)