JAKARTA — Seperti apa efek Placebo dan Nocebo dalam kehidupan kita? Saudaraku, beberapa hal benar—apakah Anda percaya atau tidak mempercainya—air mendidih pada suhu 100 derajat Celcius; narkoba dapat merusak kesehatan; Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Selain itu, ada hal lain yang berpotensi menjadi kenyataan (kebenaran), jika kita sungguh-sungguh mempercayainya. Rutger Bregman menguraikan hal itu dalam Humankind: A Hopeful History (2020).
Bahwa keyakinan (kepercayaan) kita berpotensi menciptakan apa yang disebut sebagai “nubuat yang memenuhi dirinya sendiri” (self-fulfilling prophecy). Keyakinan dapat menciptakan hukum daya tariknya (law of attraction) tersendiri yang dapat menggerakkan energi semesta untuk mendukungnya menjadi kenyataan.
Keyakinan positif bisa menggerakkan energi positif dan menjadi kenyataan positif. Itulah yang disebut efek Placebo. Misalnya, jika dokter Anda memberi Anda pil “semu” dan mengatakan bahwa itu akan menyembuhkan sakit, kemungkinan Anda akan merasa lebih baik. Atau katakan pada anak didik bahwa Anda sangat cerdas dan penuh potensi. Kemungkinan anak itu akan lebih percaya diri dan tumbuh sebagai pribadi bertalenta.
Baca juga: Yudi Latif: Kebermanfaatan dan Inovasi Entrepreneurship dalam Pengabdian Dompet Dhuafa
Makin dramatis Placebo, makin besar keampuhannya. Injeksi, secara keseluruhan, lebih efektif daripada pil. Dan Placebo tertinggi? Operasi! Kenakan mantel putih, berikan anestesi, lalu relaks, dan tuangkan secangkir kopi. Ketika pasien siuman, katakan bahwa operasi berjalan sukses.
Sebuah tinjauan secara luas yang dilakukan oleh jurnal medis di Inggris membandingkan prosedur bedah aktual dengan operasi “semu” (sham)—untuk kondisi seperti nyeri punggung dan ulu hati—mengungkapkan bahwa Placebo juga membantu menyembuhkan sekitar tiga per empat dari total kasus, dan sekitar setengahnya sama efektifnya dengan bedah sungguhan.
Namun, kepercayaan juga bisa berefek sebaliknya. Keyakinan negatif bisa menggerakkan energi negatif dan menjadi kenyataan negatif. Itulah yang disebut efek Nocebo. Misalnya, jika Anda memprediksi suatu bank akan bangkrut dan itu meyakinkan banyak orang untuk menutup rekening mereka. Maka besar kemungkinan bank itu akan bangkrut.
Baca juga: Cara Bahagia Bekerja di Lembaga Filantropi Islam
Atau ambillah pil “semu” dengan berpikir (percaya) bahwa itu akan membuat Anda sakit, dan memang besar kemungkinan akan membuatmu sakit. Peringatkan pasien Anda bahwa obat tertentu memiliki efek samping yang serius, dan kemungkinannya akan menjadi kenyataan.
Meski efek Nocebo belum banyak diuji, karena alasan etika—yang bisa membuat orang sehat jadi sakit. Namun, banyak bukti menunjukkan bahwa efek Nocebo bisa sangat kuat.
Jika kita percaya bahwa kebanyakan orang tidak dapat dipercaya, maka hal itu akan memengaruhi cara kita saling memperlakukan, yang dapat merusak harmoni sosial. Hanya ada sedikit ide yang bisa membentuk dunia sebagaimana pandangan kita tentang orang lain. Karena pada akhirnya, Anda akan mendapatkan apa yang Anda harapkan (sangkakan). Jika kita ingin mengatasi tantangan terbesar zaman ini—dari krisis iklim hingga meluasnya rasa saling tak percaya antarsesama—ruang yang kita butuhkan untuk memulainya adalah (mengoreksi) pandangan kita tentang sifat manusia.
Baca juga: Perangi Polusi: Resistensi atau Menunggu Nasib?
Seorang kakek berkata pada cucunya, “Ada pertarungan yang terjadi di dalam diriku. Ini adalah pertarungan yang mengerikan antara dua serigala. Yang satu adalah serigala buruk; pemberang, serakah, cemburu, sombong, dan pengecut. Yang satu lagi serigala baik; damai, penuh kasih, sederhana, murah hati, jujur, dan dapat dipercaya. Kedua serigala ini juga bertarung dalam dirimu, dan di dalam setiap diri orang lain”.
Selang beberapa saat, sang cucu bertanya, “Serigala mana yang akan menang?”
Sang kakek pun tersenyum seraya berkata, “Yang paling banyak diberi makan”.
(Edulatif, No. 40)
Ditulis dan disampaikan oleh Yudi Latif selaku Anggota Dewan Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika pada acara “Leader’s Insight”, Selasa (9/1/2023) di Gedung Philanthropy, Jakarta Selatan.