KARAWANG — ”Kapan naik ke hutan, mas?”, kalimat itu terlontar berkali-kali di pesan singkat telepon genggam tua ini. Sang pengirim, Mbak Remi, adalah salah satu pengungsi Teluk Jambe, Karawang. Sekiranya setahun yang lalu, beliau dan 270 orang lainnya bersengketa dengan perusahaan dan entitas Pemerintah Daerah Karawang. Rumah dan segala aset milik 97 Kepala Keluarga yang berprofesi sebagai petani direbut paksa. Mereka diusir dan dikejar-kejar laiknya kriminal rendahan.
Hari berganti bulan, dan berlanjut berganti tahun. Para petani setelah hidup luntang-lantung di Jakarta “dikembalikan” ke Karawang untuk mengelola tanah idle milik negara seluas 1,500-an hektare. Terletak di atas bukit, dengan lahan garapan masih perawan, dan berdekatan dengan wilayah internasional industri Karawang.
Kisah konflik agraria di Indonesia memang tidak pernah sederhana. Banyak lakonnya memihak orang yang salah. Apalagi bermimpi untuk menuliskan akhir “hidup bahagia selama-lamanya”. Karena penyerahan lahan negara kepada para petani untuk diolah tak lantas membuat persoalan selesai.
Para petani diberikan lahan kosong, tanpa sumber daya mencukupi. Selain itu juga tanpa modal usaha untuk memulai peradaban baru. Bahkan, sebelum memulai peradaban baru mereka, para petani sementara harus tinggal (kembali) di pengungsian. Beratapkan terpal, berdinding triplek, beralaskan kasur seadanya. Mirip bagaimana epos Mahabarata mengisahkan keluarga Pandawa demi tempat berteduh dalam hidupnya, ketika membuka hutan astinapura. Ya, semacam hidup menggelandang.
Tempat ibadah, air bersih, sanitasi, kebutuhan harian lainnya menjadi kebutuhan dasar yang mendesak bagi mereka pengungsi Teluk Jambe. Hanya terdapat sedikit atau jumlah kecil dari kebutuhan, yang sempat tertangkap dalam kunjungan singkat di pengungsian tersebut. Masih banyak hal dan kebutuhan lain yang perlu digali. Agar keprihatinan tersebut dapat segera diakhiri. (Dompet Dhuafa/Arif R Haryono)