ROTE NDAO, NUSA TENGGARA TIMUR — “Aku paling enggak bisa mendengar orang enggak bisa makan. Dan ini aku melihat langsung, aku sangat sesak rasanya lihat orang susah makan. Apalagi dia mengurus anak-anaknya di rumah sendirian. Baru pertama kali aku melihat kondisi orang yang sebegitu susahnya dalam mencari makanan dan itu bikin aku sangat bersyukur. Menurutku mereka sangat layak untuk membutuhkan daging kurban,” sebuah kalimat yang bergetar keluar dari mulut Ocha Nugraha (28).
Ya, melakukan sebuah perjalanan bisa menjadi hal menarik dan memiliki makna tersendiri bagi si pejalannya. Ada yang melakukannya karena renjana akan mengunjungi suatu tempat baru, mengobati jenuh dengan hiruk-pikuk rutinitas keseharian, mencari makna kehidupan, atau sekedar menunaikan hobi bahkan menjadi sebuah aktivitas yang menghasilkan.
Seorang pejalan asal Jakarta Barat itu, Ocha, berkesempatan menjajaki perjalanan barunya bersama Dompet Dhuafa ke Pulau Rote di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Apa saja pengalaman menarik yang ia temukan di sana? Adakah makna baru yang Ocha dapatkan bagi perjalanan kehidupannya?
Baca juga: Mocca Hingga Aiman Ricky Serukan Pesan Berkurban di Taman Literasi
Awal Penjelajahan
Bagi Ocha Nugraha, semua hal di atas merupakan satu kesatuan. Kecintaannya terhadap aktivitas alam memiliki makna tersendiri dan penemuan-penemuan baru. Pejalan yang memiliki nama asli Siti Khaeriyana ini telah menggeluti dunia traveling sejak tahun 2017 lalu. Wanita yang telah mengenakan hijab sejak 2014 ini, mengawali pendakian ke Gunung Gede di Bogor tahun 2018 dan baru saja melakukan pendakian ke Gunung Rinjani di Lombok Timur awal tahun 2024.
Namun siapa sangka bahwa anak ketiga dari enam bersaudara ini mengawali keindahan menjelajah pegunungan dari ketertarikannya terjun ke dunia modeling photography (orang yang berpose untuk fotografer atau pelukis atau pematung). Terjun ke dunia model foto hijab kala duduk di bangku sekolah menengah atas, membawa perjalanan karirnya pada penjelajahan alam hingga kini.
“Justru sebelumnya aku tertarik pada dunia modeling hijab saat masih SMA. Dari situ berkembang aku dapat pengalaman, relasi dan hobi yang menghasilkan. Barulah tahun 2017 aku gabung komunitas explore jalan-jalan dan mulai melakukan perjalanan ke tempat-tempat baru yang belum pernah aku singgahi. Tujuannya masih dekat-dekat tapi aku baru tahu, oh ternyata tersembunyi ada tempat bagus di situ,” ungkap Ocha, antusias.
“Melakukan perjalanan ternyata se-seru itu. Tahun 2018 aku beranikan diri pertama kali melakukan pendakian gunung ke Gunung Gede di Bogor. Yang terbaru, aku naik (mendaki) ke Gunung Rinjani di Lombok. Dunia pendakian sangat berbeda dengan foto model. Relasi ku bertambah luas, bertemu dengan beragam orang, anak-anak pendaki juga amat solid dan ternyata Indonesia indah,” seru Ocha lagi.
Baca juga: Awal Mula dan Perkembangan Program Tebar Hewan Kurban
Pintu ke Pintu
Perjalanan demi perjalanan dilakukan, makna demi makna ditemukan. Ragam kesan pun terserap untuk tumbuh seiring pendewasaan, menjadi ragam inspirasi sebagai pembelajaran. Ocha menyadari, suatu perjalanan yang dilakukan saat ini adalah ketukan pintu yang akan membawanya menuju perjalanan lain setelahnya. Makna itu berkesinambungan dan membuka pintu makna-makna lain setelahnya yang menjadi refleksi cerita kehidupan.
Sebagai salah satu pemengaruh di dunia media sosial, dukungan pun berdatangan. Karakternya yang ramah, ceria dan mudah berbaur, turut memantik banyak pihak untuk bersinergi dan menebar manfaat. Aktivitas eksplorasinya pun mulai memasuki dunia sosial-kemanusiaan. Ocha pernah melakukan perjalanan ke pertanian kebun buah naga, aksi peduli lingkungan, mengajar di pedalaman dan terbaru ia jelajah ke kandang peternakan jelang Lebaran Kurban di timur Indonesia.
“Hingga akhirnya aku bertemu Dompet Dhuafa tahun 2023, ikut gabung dalam aksi bersih Sungai Ciliwung. Di situ kita sama-sama disadarkan akan sampah yang banyak, jika air naik, sampah nyangkut di pepohonan, setelah itu kita diajak lihat juga sampah yang didaur ulang. Kemudian tahun 2023-2024, aku ikut ngajar kelas inspirasi di pelosok Bogor bareng Dompet Dhuafa juga. Di situ aku enggak nyangka dengan fasilitas sekolah di sana dengan energi adik-adik yang semangat mengakses hak pendidikan,” sebut Ocha.
“Aku pelan-pelan menyadari kalau perjalanan ku mulai sering terlibat dalam hal-hal kebaikan juga. Seperti ‘terpanggil’. Berarti ini kan suatu manfaat dari kecintaan kita dan lebih penting lagi jika kita bisa membagikan cerita ini serta ikut mengajak teman-teman lain,” ujarnya.
Jelajah Kandang Ternak ke Pulau Rote
Pukul 00.00 WIB, Minggu (02/06/2024), Ocha sudah berada di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, menanti sebuah pesawat yang akan ia tumpangi menuju Bandara El Tari, Kupang, dini hari itu. Yang dinanti pun tiba, pesawat lepas landas pukul 02.00 WIB dan mendarat pukul 06.00 WITA. Di Kupang, setelah perut terisi dengan sarapan menu nasi kuning, perjalanan pun segera Ocha lanjutkan mengarah ke Pelabuhan Tenau di Kupang. Dari Pelabuhan Tenau, Ocha menggunakan kapal feri menuju Pulau Ba’a di Rote selama sekitar lima jam perjalanan laut.
“Bagi orang-orang Nusa Tenggara Timur (NTT), ombak menuju Rote gelombangnya lumayan besar. Dan ya, aku merasakannya, luar biasa ombaknya. Kenapa ke Rote? Karena pulau ini merupakan salah satu lokasi terluar NTT dan menjadi wilayah distribusi Kurban Dompet Dhuafa di pedalaman. Kita tempuh semua udara, darat dan laut,” aku Ocha yang dominan melakukan perjalanan gunung ini.
Baca juga: Pengecekan Kualitas Jelang Iduladha, DD Farm Jateng Pastikan Hewan Kurban Sesuai Standar
Di Ba’a, Pulau Rote, Ocha Nugraha turut menyambangi kandang hewan ternak milik Paman Kasim (47), salah satu mitra ternak Dompet Dhuafa. Mereka berbincang seputar kesiapan hewan kurban, serta perjalanan Paman Kasim selama menggeluti dunia ternak.
Bercerita pada Ocha, Paman Kasim terjun ke dunia ternak sapi sejak masih usia 20 tahun. Ia belajar ternak turun-temurun dari keluarga dan mulai menabung untuk membeli sapinya sendiri. Berawal dari punya dua ekor sapi, kini Paman Kasim memiliki lebih dari 100 ekor sapi yang tersebar di beberapa kandang atau peternak.
“Istilahnya darah pedagang ternak. Turun-temurun bapak, paman dan kakek itu pedagang ternak. Umumnya sapi lokal Rote jenis Ongole. Jadi dari awal, usia 20 tahun itu ikut bagian potong kulit, saya kupas, kumpulkan lalu jual. Uangnya saya tabung dan untuk modal beli sapi, sehingga bisa ternak sendiri dan jika ada kebutuhan jual sudah siap. Dari situ juga saya mulai berpikir untuk mengembangkan ternak sapi sekaligus membantu orang lain melalui ternak. Jadi selain di kandang sendiri, sapi-sapi ini saya simpan ke peternak-peternak lain, nanti bisa bagi hasil ketika terjual,” tutur Paman Kasim.
“Saya ikut bagikan wawasan beternak dengan mereka, merawat fisik bagus dan beri vitamin. Di sini banyak yang bertani juga, jika gagal panen saat mereka butuh uang atau biaya sekolah, sapi ini bisa menjadi solusinya. Prinsip saya yang penting jujur dan sungguh-sungguh. Sudah tiga tahun ini kerjasama bareng Dompet Dhuafa, semoga terus selama saya hidup,” akunya lagi.
Pengalaman Baru Cek Kualitas Hewan Ternak
Hari itu di kandang Paman Kasim di Desa Metina, Ba’a, tim Dompet Dhuafa NTT juga sedang melakukan pengecekan kesehatan atau Quality Control (QC) hewan-hewan ternak untuk persiapan Tebar Hewan Kurban (THK) pada Hari Iduladha 1445 H. Hewan ternak dicek kesiapannya antara lain usia, kesehatan, fisik serta bobotnya. Ocha pun turut menyaksikan dan mengalami langsung melakukan QC hewan kurban di kandang sapi Paman Kasim bersama tim Dompet Dhuafa NTT.
“Seru banget! Ini pertama kali buat aku mendapatkan pengalaman merawat sapi-sapinya, kasih makan sambil interaksi. Paman Kasim juga jelasin tentang kesehatan sapi dan aku juga ikut ukur bobot sapi. Yang menarik itu kita ukur pakai tali yang diikat pada batang kayu, jadi kita bisa ukur dari jarak jauh, menjaga tetap aman dari resiko amukan sapi juga. Setelah itu kita ukur dengan meteran dan kita hitung, jika hitungannya sesuai maka sapi ditandai dengan cat semprot sebagai tanda lolos QC dan siap dikurbankan,” papar Ocha.
Baca juga: THK Gerakkan Peternakan Rakyat dengan 3 Pasti
Di lokasi berbeda, Ocha juga berkesempatan berkunjung menemui peternak binaan Paman Kasim di Oenggae, Pantai Baru. Adalah ayah dan anak, Bai Nusaba dan Robin yang telah membantu merawat sapi-sapi Paman Kasim selama 10 tahun. Ia juga menanam tanaman gala-gala dan daun lantoro untuk pakan sapi ternak itu.
“Saya tidak merayakan Iduladha tapi senang Paman Kasim percayakan kami rawat sapi dan bisa memberi penghasilan untuk kami saat Iduladha atau menambah kebutuhan hidup kami. Biasa saya kasih potong langsung (makan) daun gala-gala, segar lebih bagus,” kata Robin.
Refleksi Makna Perjalanan
Selain menilik proses QC di kandang, perjalanan blusukan Ocha berlanjut ke Desa Deranitan, Kecamatan Rote Barat Daya. Merupakan wilayah terluar yang banyak ditinggali oleh Suku Bajo di Pulau Rote. Sebuah pemukiman pesisir dengan mayoritas mata pencahariannya adalah nelayan. Wilayah itu juga menjadi salah satu lokasi distribusi penyaluran daging kurban pada THK 1445 H kali ini.
Dari rumah ke rumah, Ocha menemui pemiliknya. Ocha mendapati warga dengan tempat tinggal seadanya. Bahkan atap rumahnya bolong dan masih ada sisa bocor air hujan di bawahnya. Ocha bertemu seorang ibu pemetik daun legundi. Si ibu harus mencari dan memetik daun kecil-kecil itu dengan izin di kebun orang lain, diproses jemur, dikeringkan beberapa jam, dibungkus, barulah bisa dijual. Upah yang didapat dari hasil petiknya itu pun hanya berkisar Rp35,000 – 50,000.
Ocha juga bertemu dengan seorang ibu mualaf, Hesti (34) dengan empat orang anak. Suaminya sedang berlayar dan entah sudah berapa lama perginya. Ibu Hesti juga bercerita bahwa ananda ke-empatnya itu baru saja dirawat di rumah sakit dan didiagnosa penyakit gizi buruk. Melihat hal tersebut, Ocha tak mampu menahan tangis. Hal tersebut membawa memori masa lalunya yang pernah mengalami keadaan yang hampir serupa.
“Aku enam bersaudara, dulu waktu kecil orang tua kami pernah dalam kondisi tidak punya uang. Iya, bahkan untuk makan. Sampai kakak ku mengalami sakit karena tidak makan dan kita cuma makan pakai singkong. Itu mengingatkanku dengan perjuangan ibu ku dan itu cuma buat anaknya. Sangat menjadi refleksi cerita dia dengan rasa bersyukur,” akunya lagi.
Baca juga: Kurban 3 Pasti, Targetkan Tepat Sasaran Hingga Dukung Pemerataan
“Aku datang ke tempat-tempat yang memang jauh banget dari jangkauan bantuan terutama daging kurban. Boro-boro daging, makan nasi dengan sayur aja susah. Ini juga pertama kali aku ikut lihat proses QC hewan kurban. Aku kira enggak sedetil itu, ternyata Dompet Dhuafa detil banget mempersiapkan hewan kurban dan menjaga amanah pekurbannya,” jelas Ocha.
Kurban 3 Pasti
Tim Program Dompet Dhuafa NTT sekaligus Koordinator THK 1445 H di NTT, Adi Fahmi Abdul Rafiq Zaenuddin Liliwana (32), juga menyampaikan bahwa wilayah pendistribusian daging kurban di NTT menyasar ke wilayah kabupaten juga pelosok antara lain: Rote, Ende, Nagekeo, Flores Timur, Sikka, Sabu, Timor Tengah Selatan & Utara, Atambua juga Kupang.
“Tahun ini kami lebih mempersiapkan tim lagi karena adanya beberapa titik baru penyaluran hewan kurban. Kurban 3 Pasti yang pasti jantan, pasti lolos QC dan pasti distribusi ke pelosok negeri, di NTT ini sampai hingga pelosok daerah yang bahkan masyarakatnya ada yang belum pernah merasakan suasana pun daging kurban,” jelas Fahmi. (Dompet Dhuafa)
Teks dan foto: Dhika Prabowo
Penyunting: Dedi Fadlil