SUMATRA BARAT — Pagi hari, sebelum pukul 08:00 WIB, Yogi Aria Dinata, tiba di Pilantrokopi Padang, di Jalan Batang Kampar, Rimbo Kaluang, Padang. Sebagai seorang barista, ia juga bertugas melakukan kalibrasi mesin, memastikan semua alat siap dipakai, mengecek catatan digital, hingga menata fasilitas ruangan bagi pelanggan. Semangatnya luar biasa, pemuda asal Nagari Sirukam, Solok, itu handal mengekstrak biji kopi untuk disajikan kepada para pelanggan Pilantrokopi.
Mesin pressure bar hingga boiler telah sampai pada angka yang ditentukan, menandakan mesin kopi siap digunakan. Yogi mulai bergegas mengenakan apron cokelatnya, mengaitkan setiap ujung tali membentuk simpul menyilang. Ia mulai siap menuangkan pesanan dan menyajikannya ke meja-meja pelanggan sesuai pesanan.
Ditemani rekan karyawan lain, ia sesekali larut dalam candaan hingga terpecah oleh suara pelanggan memesan, atau suara azan salat yang berkumandang.
Baca juga: Dompet Dhuafa Launching Pilantrokopi, Coffee Shop di Padang Berbasis Pemberdayaan Dana Filantropi
Dibina oleh Dompet Dhuafa, Pilantrokopi merupakan sebuah program zakat produktif, turunan dari unit usaha Koperasi Solok Sirukam. Program ini menjadi bagian dari konsep filantropreneur dengan menggabungkan kewirausahaan yang dikelola secara profesional berbasis dana filantropi. Kedai kopi ini dibangun sebagai hilirisasi program pemberdayaan petani kopi Solok Sirukam oleh Dompet Dhuafa yang sudah ada sejak tahun 2019 yang lalu.
Yogi Aria adalah salah satu penerima manfaat program filantropreneur ini. Ia dibina oleh Dompet Dhuafa untuk mampu berdaya sehingga kelak dapat menjembatani kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Ayah dan ibu Yogi merupakan petani kopi di Solok Sirukam yang telah melahirkan empat generasi anak Sirukam. Sayangnya, karena memiliki pengalaman miris sebagai petani kopi, mereka berdua tidak setuju jika kelak anak-anaknya mewarisi profesi keluarga sebagai petani kopi.
Baca juga: Pengalaman Aliah Sayuti Terjun ke Perkebunan, Coba Menjadi Petani Kopi Sinjai
“Janganlah berkebun. Biarlah orang tua saja di sini. Anak-anak kerja yang pasti-pasti saja,” kata Yogi menirukan nasihat orang tuanya.
Maka, kini ketiga saudara Yogi tidak ada yang berkebun. Padahal di tempat kelahirannya, kebun yang dikelola oleh orang tuanya adalah kebun warisan turun-temurun dari keluarga. Artinya kebun tersebut berstatus milik keluarga sendiri. Ada sekitar 1 hektare luas kebun kopi yang dimiliki keluarga kecil ini.
Namun kini, Yogi tetap teguh melanjutkan warisan turun-temurun keluarganya. Ia ingin mengangkat harkat dan martabat petani kopi di balik seduhan nikmat dalam gelas-gelas kopi.
Mulanya, anak muda lulusan sekolah pada tahun 2021 ini belum banyak mengetahui tentang kopi. Setahun setelah kelulusan, yaitu tahun 2022, di Sirukam, dia mulai membantu aktivitas ayahnya berkebun kopi. Dari situ lah dia mulai tertarik dengan dunia kopi.
Tinggal di lingkungan pedesaan, Yogi dan keluarga tidak ada keinginan untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Di pikirannya hanya bagaimana kelak ia mampu bekerja dan menghasilkan uang. Atas keinginannya yang tinggi tentang kopi, Dompet Dhuafa Singgalang pun memberdayakannya agar makin berkembang.
Yogi diajak oleh Dompet Dhuafa untuk merantau ke Padang guna mengikuti pelatihan untuk menjadi seorang barista. Setelah dua kali mengikuti pelatihan tentang kopi, ia makin percaya diri untuk membuat seduhan kopi yang nikmat untuk disajikan di meja Pilantrokopi. Yogi mulai menyajikan kopi untuk pelanggan Pilantrokopi sejak dibukanya kedai Pilantrokopi pada 18 September 2023. Ia pun makin mahir meracik minuman-minuman berbasis espreso, juga segala cara seduhan kopi secara manual.
Baca juga: Nagari Sirukam Terpilih Menjadi Desa Wisata Kopi
“Alhamdulillah, sekarang sudah tidak perlu minta ke orangtua. Sudah punya penghasilan sendiri dan sudah bisa menabung dari hasil uang sendiri,” ucapnya kepada Dompet Dhuafa, Kamis (12/10/2023).
Meski belum sempat bisa melanjutkan pendidikan tinggi, Yogi tetap memiliki cita-cita ke depan untuk menjadi pebisnis kopi yang memihak pada petani-petani kopi di pedesaan. Ia juga sebenarnya cukup tertarik dengan kesenian daerah. Andai kelak bisa kuliah, ia ingin mempelajari lebih dalam tentang seni budaya, khususnya budaya Sumatra Barat.
Ia mengakui bahwa bisnis kopi memiliki prospek yang menjanjikan dan banyak membawa keuntungan finansial. Namun mirisnya, di balik kegagahan kafe-kafe di kota besar, para petani kopi di pedesaan kecil justru sengsara.
Menurutnya, yang diketahui oleh para petani kopi di pedesaan itu hanya merawat kebun kopi, kemudian panen, lantas dijual ke tengkulak dengan harga seadanya. Hadirnya Dompet Dhuafa telah berhasil memahamkan para petani tentang betapa tingginya nilai kopi di pasar global.
Baca juga: Dubes Kazakhstan Tertarik Kenalkan Produk Pemberdayaan Kopi Madaya ke Negaranya
“Setidaknya, petani paham bagaimana menghasilkan biji kopi yang berkualitas. Bisa mengetahui jenis dan macam biji kopi, juga bisa membedakan seduhan kopi ini itu dihasilkan dari biji yang mana,” lanjutnya.
Untuk saat ini, lanjut Yogi, ia akan terus berusaha untuk memperbanyak pengalaman tentang dunia perkopian. Termasuk bagaimana bisnis kopi berjalan di berbagai tempat. Dengan izin Allah, kelak jika ilmunya sudah cukup, ia akan kembali ke kebun kopi ayahnya untuk mengembangkan kebun kopi. Bukan hanya miliknya, tetapi juga milik masyarakat Nagari Sirukam secara umum. (Dompet Dhuafa/Muthohar)