Tak ada pemimpin yang hebat tanpa bantuan guru, tiada orang sukses di dunia tanpa pendidikan dari seorang guru. Begitu hebatnya peran guru dalam keberhasilan seseorang, hingga guru ditasbihkan sebagai “Pahlawan tanpa Tanda Jasa”. Sebuah gelar yang sungguh terhormat yang memang pantas di sematkan bagi sang pendidik.
Tetapi predikat terhormat yang disandang oleh guru belum berbanding lurus terhadap kesejahteraan mereka. Masih sering kita dengar teriakan para guru honorer yang turun ke jalan menuntut kesejahteraan, fasilitas pendidikan yang belum memadai, dan lain sebagainya. Mungkin kita juga masih ingat kisah pak Mahmud, seorang Kepala Sekolah yang menyambi menjadi Pemulung, hal itu ia lakukan demi memenuhi kebutuhan hidupnya, karena pekerjaan sebagai guru tak cukup mampu memenuhi kebutuhannya.
Serupa tapi tak sama dengan kisah pak Mahmud, Widodo (56), juga mengalami nasib yang hampir sama. Berprofesi sebagai guru selama lebih dari 26 tahun, Widodo tak jua mampu memenuhi biaya hidupnya dengan 5 orang anak, 3 diantaranya masih sekolah. Janji pemerintah untuk menaikkan status guru honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tak pernah dikecap manis oleh Widodo. Janji pemerintah baginya hanya sebuah isapan jempol yang seolah tak akan terwujud mengingat usianya yang sudah mencapai lebih dari setengah abad.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga, ia berinisiatif menjadi juru parkir di daerah Blok M, Jakarta Selatan, tak jauh dari tempatnya mengajar di SMA Purnama. Pekerjaan sebagai juru parkir ia lakoni selama 6 tahun terakhir. Ia mengaku, dari profesinya sebagai tukang parkir ia mampu meraup 50 hingga 80 ribu per hari. Ia juga telah membuang jauh rasa malu dan gengsi demi menafkahi keluarga.
Rekan sesama guru di SMA Purnama, Bidayah, mengatakan Widodo merupakan guru yang punya dedikasi tinggi. Sekalipun sedang sakit ia berusaha untuk tetap mengajar meski setengah hari. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang ramah, jujur, dan sangat kreatif, “Maklum lah dia itu pengajar seni, banyak idenya, dan banyak disukai oleh siswa.” Kata Bidayah menambahkan.
Kini, lelaki yang pernah menjadi “buah bibir” pemberitaan media nasional itu hanya terbaring lemah tak berdaya. Ia hidup bersama putri kedua, Gayatri (30), di kediamannya Villa Nusa Indah 2 Blok W.5 Kel. Bojong Kulur Kec. Gunung Putri Kab. Bogor. “Sekarang Bapak tidak mengajar lagi mas karena stroke yang sudah setahun,” ujar ibu satu anak ini kepada petugas LPM.
Kondisi Widodo memang memprihatinkan, tampilan wajahnya kini dihiasi oleh jenggot putih yang melingkar dipipi, badannya tampak kurus, dan berbicara pun sangat sulit akibat stroke yang dialaminya. Ia hanya bisa berbaring dan duduk sembari sesekali senyum menyapa setiap orang yang berkunjung ke rumah.
Untuk keperluan sehari-hari, ia dibantu oleh Gayatri yang juga mempunyai usaha toko obat herbal disamping rumah. Widodo tak lagi berharap untuk menjadi PNS. Ia hanya berharap ia bisa berobat dan beraktifitas seperti sedia kala. Semangat berkreatifitas dan mendidik para tunas bangsa seolah tak pernah luntur hanya karena sakit yang dialami.
LPM Dompet Dhuafa melalui program Pejuang Masyarakat, berikhtiar membantu biaya pengobatan Widodo agar ia bisa lekas pulih dan beraktifitas seperti sediakala. “Terima kasih sudah memperhatikan ayah saya.” Ucap Gayatri lirih. Kesan serupa juga kami tangkap dari ekspresi tangis Widodo saat kami melangkahkan kaki untuk berpamitan. (LPM Dompet Dhuafa/Rifky)