Sebuah Catatan kecil dari Garut

Garut – Tidak bisa disalahkan karena efek dari pemberitaan dengan menampilkan realitas kepedihan dan kegetiran peristiwa banjir bandang di Garut, mencubit rasa kemanusiaan kita bersama. Berbondong-bondong bantuan mengalir dengan deras dalam tiga hari di Posko Darurat yang dibentuk pemerintah Garut. Beberapa orang teman melihat amat sangat banyak.

Sebagai contoh, karena seringnya pemberitaan hanya difokuskan di sekitar RSU dan Rusunawa yang menjadi tempat evakuasi sekitar 16 KK dari Lapangan Paris dengan lebih kurang 50 pengungsi dengan bayi 1 orang serta balita 5 orang tadi bantuan mengalir sampai menggunung. Bahkan, seorang teman di sana menyatakan pakaian bekas menumpuk sampai setingg 2 meter. Dibiarkan tergeletak begitu saja di lantai, sampai dia menyarankan pada petugas posko agar pakaian tersebut dibagikan ke posko lain.

Ironinya, makanan dan pakaian layak pakai, sumbangan dari para donatur yang mungkin menyumbang dengan amat sangat ikhlas. Dibiarkan sia-sia, karena penyaluran yang amat lambat dan tidak terkoordinasinya bantuan untuk diarahkan ke tempat bencana yang semestinya. Bahkan, tadi malam pukul 22 datang lagi satu kontener bantuan ke Rusunawa entah berupa pakaian, makanan atau minuman.
Sementara di lapangan, banyak sekali daerah-daerah yang tidak disorot kamera. Para korban bencana, berjuang sendiri dengan letih dan pedih hanya memakai pakaian yang menempel di badan. Laki dan perempuan sama saja tanpa memakai pakaian dalam. Anak-anak berebutan mencuci makanan berbalut lumpur yang ditemukan di warung makanan yang terendam banjir. Ibu-ibu menyusui tampak letih, tetap dengan penuh kasih sayang menyusukan bayinya padahal di matanya tidak bisa disembunyikan bekas air mata dan rasa lelah.
Anak-anak remaja yang mungkin saat teman sebayanya sedang asyik main game atau nongkrong, berbekal cangkul butut dan linggis mencoba menggali dan mengais-ngais lumpur untuk mencari barang yang mungkin bisa di pakai atau mencari saudaranya yang hilang. Mereka terlihat sangat letih saat mengayunkan cangkulnya. Saking lelahnya, seorang anak remaja, tertidur sambil terduduk di atas tumpukan kasur basah dengan kepala dilipat di lutut.

“Kenapa kepada kami tidak ada bantuan sedikitpun? Kami baru mendapat nasi bungkus satu kali. Untuk makan kami terpaksa mengutang kepada tetangga yang masih punya uang. Kami lapar tidak jadi masalah, tapi kami tak kuat saat melihat anak-anak kami menangis karena perut kosong yang tidak tertahankan!”

“Tolong sampaika ke posko di pusat, segera turunkan dan salurkan makanan dan minuman kepada kami yang tidak terekam kamera. Karena mungkin kami, dianggap berita kecil hanya karena cuma tidak sampai 5 rumah yang terlibas habis…”
“Kenapa hanya karena berbeda RW, kami tidak diberikan bantuan padahal RW kami yang paling parah akibat banjir kemarin. Lihat saja ini

batas air kemarin (menunjuk ke tembok basar sekitar 4 meter). Rumah kami penuh lumpur, barang kami habis tak bersisa. Tapi, kenapa bantuan tidak pernah sampai kepada kami? Apa salah kami. Bantuan yang pernah kami terima, cuma satu dus aqua dan sebuah sabun sachet lima ratusan! Sementara di RW yang menjadi Posko beras dan makanan serta minuman berkarung-karung menumpuk dan dibagikan hanya kepada RW mereka! Dimana keadilan, dimana rasa kemanusiaan? Apa hanya kami orang-orang miskin yang tidak berdaya sehingga ditelantarkan begitu saja?

Sebanyak apapun donasi, bila hanya menumpuk di satu tempat dan terpusat di satu titik tidak disalurkan dengan cepat adalah sia-sia. Kami yang bergerak hanya karena rasa kemanusiaan dengan titipan amanat dari teman-teman tidak mau seperti itu. Makanya, kami turun langsung untuk membagikan ke daerah-daerah yang tidak tersentuh tersebut. Itupun bisa terjadi karena proses yang cukup melelahkan. Karena ada aturan, bahwa semua posko atau yang lembaga yang memberikan bantuan harus terdaptar di Kodim. Saya sempat berang, saat salah seorang yang akan menyumbang menanyakan legalitas: Apakah sudah terdaptar di Korem atau Kodim?

Para korban bencana semestinya menjadi prioritas utama, bukan legalitas berbau simbolik formalitas dengan alasan demi koordinasi yang jelas-jelas malah menjadikan bantuan menumpuk tidak tersalurkan.

Aturan tersebut mungkin tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena di tengah kesengsaraan dan kepedihan para korban banjir. Banyak manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab untuk meminta sumbangan atau menjadi posko bayangan yang seolah-olah daerah mereka menjadi korban banjir. Memanfaatkan kondisi tersebut. Mereka malah “berjualan” dengan label “posko”, barang dicegat di daerah mereka. Padahal, korban banjir sesungguhnya jauh dari jalan raya walaupun searah dan satu jalan dengan daerah mereka.
Seorang teman yang kebetulan berada di lokasi tersebut, karena tidak tega dan tidak kuat atas kebejatan. Sekali lagi dengan berbisik, memohon bantuan nanti harus ditemani oleh dia agar tepat sasaran dan tidak malah parkir di “posko bayangan”. Tapi, demi alasan keamanan terpaksa kami “setor” dua dus mie, sedangkan sumbangan sendal jepit, pakaian dalam, alat mandi, sabun mandi, sabun cuci, makanan anak-anak, serta sembako yang lebih berharga dia “sembunyikan” dahulu di rumahnya yang terletak sebelum “posko bayangan” tersebut.

Malamnya, setelah sepi barulah barang-barang tersebut dibagikan kepada mereka yang keadaanya seperti diceritakan di atas.
Perlu kecepatan dan ketegasan dalam menyalurkan bantuan kepada para korban. Jangan berpikir bantuan “asal nyampe Garut atau asal nyampe posko” tapi sebaiknya langsung disalurkan kepada mereka yang benar-benar berhak. Yang tidak tersorot kamera. (Dompet Dhuafa/Fadhil)

Bersaudara, kita bersama ringankan ujian mereka.
Dukung tim respon Dompet Dhuafa, donasi melalui dompet #LoveGarut

BCA 237.304.7171
Mandiri 101.000.6475.733
a.n Yayasan Dompet Dhuafa Republika

(021) 741 6050
www.dompetdhuafa.org
WA : 08121292528