Wakaf dalam Islam sudah dipraktikkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Selain kisah wakaf yang dilakukan oleh Nabi, ada pula satu kisah wakaf yang paling dikenal, yakni wakaf tanah oleh Umar bin Khattab sahabat Rasul. Akan tetapi, pada masa itu wakaf dalam bentuk uang belum dilakukan. Lantas, bagaimana sejarah wakaf uang bermula?
Sejarah Bermulanya Wakaf Uang
Secara historis, dilansir dari jurnal SIMBI Kementerian Agama (Kemenag), wakaf uang belum pernah ada di zaman Rasulullah Saw. Wakaf uang baru dikenal dan pertama kali dipraktikkan pada awal abad ke-2 Hijriah/9 Masehi oleh Imam az-Zuhri, seorang ulama terkemuka yang juga dikenal sebagai peletak dasar Tadwin al-Hadits. Pada masa itu, Imam az-Zuhri memfatwakan agar umat Islam mewakafkan dinar dan dirham untuk kepentingan pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam.
Namun, jauh sebelum itu, seorang ulama dari kalangan Mazhab Hanafi, yakni Imam az-Zufar, pada abad ke-8 Masehi sudah melahirkan gagasan terkait wakaf uang. Imam az-Zufar menyatakan bahwa wakaf uang harus diinvestasikan melalui mudarabah dan keuntungannya dialokasikan untuk al-a’maal alkhairiyyah yang artinya digunakan sebagai bantuan sosial.
Baca juga:Â 5 Hikmah Wakaf, yang Wajib Diketahui
Setelah berabad-abad kemudian, wakaf uang sudah mulai akrab di telinga masyarakat Turki abad ke-15 Masehi. Pada masa itu, praktik wakaf uang di negara tersebut merujuk pada cash deposit atau setoran tunai ke lembaga-lembaga keuangan seperti bank. Setelah disetor pada lembaga keuangan, wakaf uang tersebut akan diinvestasikan pada kegiatan-kegiatan bisnis yang menguntungkan. Kemudian, keuntungan dari hasil investasi itu akan digunakan untuk segala sesuatu yang bermanfaat dalam bidang sosial keagamaan.
Di Turki, praktik wakaf uang tak hanya berbentuk investasi, tetapi juga digunakan sebagai pinjaman kepada orang-orang yang membutuhkan. Pada masa kekuasaan Turki Usmani di abad 16 Masehi, aset atau uang tunai yang berasal dari wakaf dikumpulkan dalam pooling fund. Kemudian, pooling fund ini disalurkan ke sektor bisnis dalam bentuk pinjaman, oleh nazir yang ditunjuk pemerintah. Setelah satu tahun, orang yang meminjam dana tersebut biasanya akan mengembalikan pinjaman pokok dan ditambah dengan return ekstra, lalu return ekstra yang diperoleh dan telah terakumulasi akan digunakan untuk membiayai kebutuhan sosial.
Perjalanan sejarah wakaf uang kemudian sampai pada abad ke-20 Masehi, di mana mulai bermunculan beragam ide untuk mengimplementasikan Ekonomi Islam. Istilah-istilah yang terkait dengan Ekonomi Islam pun mulai hadir seperti bank syariah, asuransi syariah, pasar modal, lembaga zakat, lembaga wakaf, lembaga tabungan haji dan sebagainya. Di tahap ini, para praktisi Ekonomi Islam mulai menjadikan wakaf uang sebagai salah satu basis pembangunan ekonomi umat.
Baca juga:Â 4 Keuntungan Wakaf yang Perlu Milenial dan Gen Z Tahu
Hukum Wakaf Uang Menurut 4 Mazhab
Meski wakaf uang sudah menjadi hal yang lumrah dan terus dilakukan, namun hukum wakaf uang masih menjadi perdebatan dalam fikih empat mazhab. Ada pihak yang membolehkan wakaf uang dan ada pula yang tidak. Mazhab yang membolehkan di antaranya adalah Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki. Sementara Mazhab yang tidak memperbolehkan wakaf uang, yakni Mazhab Hambali dan Mazhab Syafi’i. Berikut penjelasannya:
Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi membolehkan wakaf uang dengan syarat bahwa hal tersebut sudah menjadi adat kebiasaan atau ‘urf di kalangan masyarakat. Menurut mazhab ini, hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash. Pendapat ini berpegang pada hadis Nabi Muhammad Saw yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
“Apa yang dipandang baik menurut kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah pun buruk.”
Menurut Mazhab Hanafi, cara mewakafkan uang adalah dengan menjadikannya modal usaha, secara mudarabah atau mubada’ah.
Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf uang (dengan dinar dan dirham) diperbolehkan. Penggunaan wakaf uang dalam hal ini dijelaskan pada Kitab al-Mudawwanah, yakni melalui cara pembentukan dana pinjaman. Kaidahnya ialah uang tersebut diwakafkan dan digunakan sebagai pinjaman kepada pihak tertentu, di mana peminjam terikat untuk membayar pinjaman tersebut.
Baca juga:Â Orang yang Menerima Wakaf Disebut Apa? Cari Tahu di Sini
Mazhab Hambali
Ahli fikih, Ibnu Qudamah mengemukakan bahwa pada umumnya para fuqaha dan ahli ilmu tidak membolehkan wakaf uang, karena uang akan habis usai dibelanjakan dan wujudnya akan hilang. Selain itu, uang juga tidak dapat disewakan karena menyewakan uang akan mengubah fungsi uang sebagai standar harga.
Meski begitu, ada sejumlah ulama yang membolehkan wakaf uang karena alasan nilai yang wakaf tetap terpelihara kekekalannya, walaupun zat atau bendanya telah hilang. Dalam hal ini, mereka tidak menekankan pada bentuk fisik harta benda wakaf, namun lebih melihat kebermanfaatannya.
Uang wakaf juga dapat digunakan untuk membeli harta benda tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan atau kendaraan atau untuk mendanai pembangunan sarana ibadah, sosial, pendidikan, kesehatan yang langsung dapat dimanfaatkan oleh mauquf alaih atau para penerima manfaat.
Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa harta benda wakaf harus kekal sesuai dengan hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh al-Nasa’i.
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabi Muhammad Saw: “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi Muhammad Saw berkata: “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya pada sabilillah.” (HR. al-Nasa’i)
Baca juga: Syarat-Syarat Wakaf dan Istilah yang Wajib DiketahuiÂ
Berdasarkan hadis di atas, Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wakaf uang dalam bentuk dinar dan dirham tidak dibolehkan, karena dinar dan dirham akan lenyap dengan dibelanjakan dan sulit mengekalkan zatnya. Namun ulama lainnya, yakni Abu Tsaur membolehkan wakaf uang dan ia juga meriwayatkan dari Syafi’i tentang bolehnya mewakafkan uang yang dalam hal ini adalah dinar dan dirham. Namun, Imam al-Mawardi menolak pendapat ini dan mengatakan bahwa dinar dan dirham tidak dapat diwakafkan, karena tidak dapat disewakan dan pemanfaatannya pun tidak tahan lama.  (Dompet Dhuafa/Qurrota Ayun)